Jakarta (Greeners) – Air merupakan salah satu sumber kehidupan bagi manusia, namun ketersediaan sumber air bersih masih menjadi permasalahan klasik hingga di wilayah pedesaan. Privatisasi air yang dikuatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air kian meminggirkan peran negara dalam penyediaan air bersih.
Namun, ketika UU Nomor 7 Tahun 2004 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, pemerintah malah menyatakan tidak siap menyediakan air bersih bagi rakyatnya dan tetap melanjutkan kontrak pada pihak swasta yang terlanjur berlangsung lama.
Namun, masih kurangnya ketersediaan air bersih di tengah masyarakat memunculkan berbagai inovasi agar tidak kehilangan sumber kehidupan itu.
Salah satunya seperti yang dilakukan oleh warga lereng Merapi yang menggunakan air hujan untuk dikonsumsi. Romo Vincentius Kirjito, seorang rohaniawan, sejak dua tahun terakhir melakukan riset dan percobaan pengolahan air hujan sebagai air minum.
Penelitian Kirjito menunjukkan bahwa air hujan di Indonesia memiliki kandungan mineral terlarut (total dissolved solid/TDS) di bawah 20 miligram per liter (mg/l). Padahal, TDS air kemasan banyak yang di atas 100 TDS. Sedangkan ketentuan ilmiah yang ditentukan oleh Kementerian Kesehatan dan World Health Organization (WHO), dimana, WHO mematok kadar mineral dalam air tertinggi yang boleh dikonsumsi adalah 50mg/liter.
“Semakin banyak nilainya, kemungkinan terlarut zat padat makin tinggi. Makin rendah makin murni. Karenanya, melalui TDS kita bisa memperkirakan kemurnian air itu,” jelas Kirjito saat ditemui di Bentara Budaya, Jakarta, Senin (06/04).
Selain itu, menurut Kirjito, yang kerap jadi soal adalah proses penampungannya. Air hujan yang melewati genting rumah kemungkinan tercemar kotoran, namun jika dibandingkan air di dalam tanah, potensi kecemaran air hujan yang ditampung tersebut lebih kecil. Sementara, di daerah industri yang mutu udaranya buruk, kemungkinan terjadi hujan asam atau tercemarnya air hujan oleh oksida sulfur dan oksida nitrogen yang bersifat toksik cukup tinggi.
Berdasarkan pantauan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di 48 stasiun pada Desember 2014 menunjukkan, tingkat keasaman air hujan di beberapa kota di Indonesia di atas batas pH air hujan normal (pH 5,6). Namun, ada pula sejumlah kota dengan tingkat keasamanair hujannya di bawah ambang batas, antara lain di Jayapura, Lampung, Kediri, Mataram, Padang, dan Serang.
”Kondisi hujan asam ini bisa disiasati dengan tidak memakai air hujan yang baru turun, namun menunggu beberapa saat baru ditampung,” katanya.
Mintje Maukar, spesialis water treatment yang turut hadir di Bentara Budaya mengatakan, masalah keasaman pH air hujan bisa diatasi dengan alat sederhana yang dibuat sendiri oleh warga.
Mintje dan Romo Kirjito lantas memperagakan teknik sederhana menjadikan air hujan yang cenderung asam menjadi air basa atau alkali. Mereka menggunakan arus listrik DC agar terjadi ionisasi sehingga air asam dan basa terpisah. Arus listrik tersebut dialirkan ke konduktor stainless foodgrade pada dua bejana yang berhubungan dan berisi air hujan. Cara ini bisa juga dilakukan pada air tanah selama empat jam atau lebih, tergantung kadar pH yang diinginkan.
”Jika hanya air hujan, karena mineral terlarutnya rendah, butuh waktu ionisasi lebih lama. Kita harus ukur kadar TDS-nya. Biasanya air yang kita sarankan di bawah 50 TDS,” kata Mintje.
Makin lama proses terionisasinya, perbedaan PH antara dua bejana itu makin tinggi, satu bejana kian basa dan satunya makin asam. Air basanya bisa langsung dikonsumsi, dan yang asam untuk pupuk tanaman.
Mintje sendiri mengakui, setelah beberapa bulan terakhir memakai air hujan yang diionisasi. Menurut dia, tubuh bersifat asam dan butuh asupan bersifat basa. Air berfungsi membawa nutrisi dan oksigen bagi tubuh, melarutkan dan mengeluarkan sampah atau racun.
”Air bersifat basa bisa berperan lebih baik, termasuk membantu memelihara dan mengganti sel-sel tubuh yang rusak. Air hujan termasuk terbaik karena paling murni. Jika dijadikan alkali, air hujan itu amat baik bagi tubuh,” katanya menjelaskan.
Sebagai informasi, WHO dalam publikasinya pada tahun 2003 menyatakan, air dengan pH ekstrem, terlalu basa ataupun asam, tidak baik bagi tubuh. Air dengan pH lebih dari 11 menyebabkan iritasi mata dan kulit, serta pembengkakan sel rambut. Air dengan pH di bawah 4 menimbulkan hal yang sama. Jika pH air lebih rendah dari 2,5, akan berdampak serius pada organ bagian dalam.
Penulis: Danny Kosasih