Jakarta (Greeners) – Temuan ahli mengungkap alasan mengapa manusia lebih peka ke hewan daripada ke tumbuhan. Secara evolusioner, otak manusia merespon sesuai dengan memori genetik. Sehingga penampakan hewan akan lebih menarik daripada tumbuhan. Manusia pun kerap kali lebih akrab dengan visualisasi hewan dibanding tumbuhan.
Bisa jadi ini menjadi salah satu alasan kuat adanya fenomena buta flora yang tidak hanya terjadi di masyarakat awam tetapi juga kalangan akademik.
Buta flora merupakan ketidakmampuan untuk memperhatikan pentingnya tumbuhan dan tanaman dalam biosfer kehidupan. Fenomena ini sekilas terlihat sepele. Padahal hal ini berdampak besar terhadap kepunahan keanekaragaman hayati di Indonesia.
Sepasang ahli botani dan guru biologi di Amerika Serikat, Elisabeth Schussler dan James Wandersee pada tahun 1998 mempopulerkan istilah buta flora ini. Mereka mengungkap, otak manusia pada dasarnya mendeteksi perbedaan.
Hal ini membuat otak lebih peka terhadap hewan daripada dengan tanaman dan tumbuhan. Tanaman dan tumbuhan hampir tidak bergerak, saling berdekatan satu sama lain, dan seringkali memiliki warna yang sama.
Mereka juga menyebut, manusia memiliki preferensi dan kesamaan perilaku biologis sebagai primata. Sehingga cenderung memperhatikan makhluk yang paling mirip dengan manusia.
Hewan Mirip dengan Manusia?
Hal senada juga Ahli Neurologi Ryu Hasan ungkapkan. Ia menyebut, pada dasarnya otak manusia berevolusi melacak perbedaan berbagai hal, termasuk jenis tumbuhan dan hewan. Bahkan otak dengan tajam mampu membedakan ‘musuh’ dan ‘kawan’ berdasarkan karakteristik visual.
Namun, seiring perkembangan dan pembelajaran selama hidup, seiring banyaknya toleransi membuat otak semakin tumpul melacak perbedaan. “Kecenderungan otak kita melacak perbedaan kemudian ditumpulkan melalui toleransi dan semakin memperluas empati,” katanya kepada Greeners, Sabtu (24/9).
Psikolog kera di Universitas Kyoto Jepang Fumihiro Kano mengungkap, adanya preferensi pada kesamaan perilaku biologis. Sebagai primata, manusia cenderung memperhatikan makhluk paling mirip dengan sesamanya, termasuk bintang. Itulah yang membuat manusia peka ke hewan.
Dalam kehidupan sosial manusia, hewan pada dasarnya lebih menarik dan tampak daripada tumbuhan.
Menanggapi hal ini, Ryu membenarkannya, bahwa manusia memang termasuk binatang, dengan spesies homo sapiens, family great apes, ordo primata, kelas mamalia, phylum vertebra, dan kingdom of animalia. “Secara genetik perbedaan antara homo sapiens dan simpanse hanya 0,7 %,” ujar dia.
Beragam Manfaat Tumbuhan
Pada dasarnya tanaman dan tumbuhan memiliki peranan penting di dunia. Tak sekadar sumber pangan, tapi sebagai penyerap karbon dioksida yang mengubahnya menjadi oksigen sehingga membuat udara lebih bersih.
Selain itu, tanaman berperan penting sebagai tempat bernaung beragam satwa sekaligus sebagai “pabrik” penyedia obat, nutrisi, perlindungan bencana alam, hingga nilai estetis yang tinggi.
“Kalau tidak ada tanaman maka tak ada lagi kehidupan lain di dalamnya. Rantai makanan akan terputus dan makhluk hidup punah,” ungkap Pakar Biodiversitas Universitas Nasional Endang Sukara.
Lebih jauh ia menyatakan, Indonesia memiliki keanekaragaman biodiversitas yang tinggi dan endemis, seperti 60 persen tanaman Indonesia tidak negara lain miliki. Ia menyebut peran tanaman sangatlah krusial, utamanya bagi keberlanjutan makhluk hidup, seperti hewan dan manusia.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin