Jakarta (Greeners) – Banyak pihak berpendapat penyelesaian dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) proyek kereta cepat Jakarta-Bandung masih perlu kajian yang lebih mendalam. Namun, Presiden Joko Widodo secara resmi telah memulai proyek ini dengan melakukan peletakan batu pertama (groundbreaking) di Perkebunan Maswati, Kecamatan Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat pada Kamis (21/01/2016) lalu.
Seperti yang diutarakan oleh Direktur Kemitraan Lingkungan Ditjen Perhutanan Sosial KLHK Dodo Sambodo sebagai salah satu pakar dalam Tim Teknis Kajian Amdal Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Menurutnya, kecuali hanya untuk kepentingan administrasi, hasil kajian dokumen Amdal ini seperti terburu-buru dan secara teknis masih belum memenuhi syarat. Ia bahkan mengaku heran kalau Amdal proyek ini disetujui.
Menurutnya, Amdal yang diajukan oleh tim pemrakarsa memiliki banyak kekurangan dan mendapat keberatan dari tim penilai seperti soal daerah rawan bencana, dampak terhadap daerah tangkapan air, pencemaran dan pengolahan limbah beracun berbahaya yang belum jelas.
“Dokumen Amdal harus memiliki prinsip kehati-hatian dan kajian ilmiah yang kuat. Datanya pun harus diambil dari dua musim, hujan dan kemarau, karena kondisi alam di kedua musim itu kan berbeda. Makanya dokumen Amdal tidak bisa diburu-buru,” katanya, Jakarta, Senin (25/01).
Selain itu, Pakar Kualitas Air Linawati Harjito yang juga sebagai pakar dalam Tim Teknis Kajian Amdal mengatakan bahwa tidak ada informasi yang jelas di dalam dokumen Amdal ke mana air pada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) akan mengalir. Apalagi seluruh jalur sungai yang rencananya dilewati oleh jalur kereta cepat ini ternyata sudah dalam kondisi tercemar berat.
“Ini kan datanya masih menggunakan data sekunder 2014. Kalau memang tidak terkait sungai tercemar, mohon dipastikan. Pastikan juga tidak berdampak penting bagi kualitas air. Data kualitas air tanah juga harus dilampirkan dalam Amdal. Metode perhitungan juga harus diperbaiki,” tambahnya.
Tengku Imam Kobul dari LSM Sapulidi yang juga anggota Tim Komisi Penilai Amdal Kota Bekasi mengemukakan hal serupa. Di dalam dokumen Amdal, katanya, tidak tercantum pengalokasian Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan jelas, baik di stasiun maupun kiri-kanan rel nantinya. Dalam dokumen itu pula, lanjutnya, tidak ada informasi mengenai dampak kebencanaan, padahal seharusnya dokumen Amdal memuat standar penanggulangan dan antisipasi bencana.
“Dalam tim penyusun Amdalnya saja tidak ada ahli geologi. Padahal, keberadaan ahli geologi penting hingga bisa mengkaji kerawanan bencana,” lanjutnya.
Sarmauli Pangaribuan dari Direktorat Penataan Kawasan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN pun mengatakan bahwa berdasarkan informasi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jawa Barat adalah kawasan rawan longsor. Pergerakan tanah sangat rentan, oleh karena itu soal mitigasi kerawanan bencana harus sangat diperhatikan.
“Jawa Barat ini rawan longsor loh. Saya setuju kereta cepat, tapi tetap harus memerhatikan aspek lingkungan dan keselamatan,” tuturnya.
Sedangkan Kardono, Pakar Udara dan Kebisingan, menyatakan, di dalam dokumen Amdal, rona lingkungan ambang kualitas udara dan kebisingan masih tidak pas. Ia pun sempat menyarankan agar Amdal dilengkapi pengukuran yang mewakili jalur dan stasiun yang akan dibangun.
“Lingkupnya, katakanlah dari kegiatan transportasi. Material enggak jelas. Kalau ia masuk kan tidak semua titik-titik pintu tol itu akan berdampak. Hanya yang dilewati saja yang berdampak. Itu harus jelas dalam dokumen ini,” pungkasnya.
Penulis: Danny Kosasih