Industri Pertambangan Belum Membawa Kesejahteraan Masyarakat

Reading time: 3 menit
Riset Greenpeace menunjukkan industri pertambangan belum membawa kesejahteraan masyarakat. Foto: Greenpeace
Riset Greenpeace menunjukkan industri pertambangan belum membawa kesejahteraan masyarakat. Foto: Greenpeace

Jakarta (Greeners) – Industri pertambangan yang digadang sebagai salah satu pilar ekonomi Indonesia belum mampu menciptakan efek positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal ini terungkap dalam riset terbaru Greenpeace Indonesia bersama Center of Economics and Law Studies (Celios) yang berjudul Kesejahteraan Semu di Sektor Ekstraktif.

Riset tersebut menemukan bahwa desa-desa yang menjadikan sektor pertambangan, sebagai sektor utama perekonomiannya kerap menghadapi tantangan besar untuk mengakses kesejahteraan. Masyarakat setempat masih memiliki pendidikan yang lebih rendah, kesulitan mendapatkan air bersih, dan akses ke layanan kesehatan.

Di sisi lain, masyarakat juga rentan terhadap bencana alam seperti banjir dan kebakaran hutan, hingga mengalami hambatan pengembangan usaha kecil dan mikro.

BACA JUGA: Pertambangan Rakyat, Presiden Berikan 7 Instruksi Terkait Penggunaan Merkuri

Nailul Huda, Ekonom Celios, mengatakan bahwa tidak bisa dipungkiri, sektor pertambangan dan penggalian memang berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia. Meski begitu, sektor ini pun berdampak negatif pula bagi masyarakat dan lingkungan.

“Sudah saatnya kita mengadopsi kebijakan ekonomi baru yang mendukung pelestarian alam serta peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ucap Huda dalam Diskusi dan Peluncuran Riset Kesejahteraan Semu di Sektor Ekstraktif di Jakarta, Rabu (26/6).

Industri Pertambangan Berdampak pada Pendidikan

Penelitian ini Greenpeace dan Celios lakukan selama tiga bulan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan analisis panel data dan logit.

Penelitian ini menggunakan data dari survei Potensi Desa (Podes) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 dan 2021. Data tersebut mencakup total 1.027 desa dari 14 provinsi di Indonesia. Penelitian secara khusus menyoroti 200 desa yang memiliki mata pencaharian utama di sektor pertambangan.

Hasil penelitian ini mendukung hipotesis adanya dampak negatif sektor pertambangan terhadap pendidikan di desa, yang sektor utamanya adalah sektor pertambangan. Desa-desa dengan sektor utama tambang cenderung memiliki jumlah sekolah formal yang lebih sedikit daripada desa-desa bukan tambang.

Data BPS tahun 2021 yang Greenpeace dan Celios olah menunjukkan, desa tambang rata-rata memiliki 3.04 unit sekolah formal dari jenjang SD hingga SMA di setiap desa. Jumlah ini hanya setengah dari rata-rata sekolah formal di desa non tambang, yaitu 6.11 unit.

Riset Greenpeace menunjukkan industri pertambangan belum membawa kesejahteraan masyarakat. Foto: dokumen pribadi

Riset Greenpeace menunjukkan industri pertambangan belum membawa kesejahteraan masyarakat. Foto: dokumen pribadi

Wilayah Tambang Sangat Terdampak

Riset menunjukkan bahwa wilayah tambang sangat terdampak daripada wilayah non tambang. Misalnya, sektor utama tambang mempunyai kesulitan yang lebih tinggi terhadap air minum bersih dibanding desa yang mengandalkan sektor selain tambang. Kemudian, desa di dekat wilayah tambang memiliki potensi air dan tanah tercemar limbah yang lebih tinggi dibanding desa lain.

Sementara itu, desa-desa di sekitar wilayah tambang juga memiliki potensi mengalami bencana alam lebih tinggi daripada desa yang jauh dari tambang. Bencana itu meliputi banjir dan kebakaran lahan.

BACA JUGA: APRI Klaim 85 Persen Penambang Emas Placer Sudah Tidak Menggunakan Merkuri

Data Podes yang Greenpeace Indonesia dan Celios olah menunjukkan 1 dari 2 desa dengan sektor utama tambang mengalami kebanjiran di tahun 2018. Sementara, hanya 1 dari 4 desa non tambang yang mengalami kebanjiran di tahun tersebut.

Greenpeace Dorong Implementasi Ekonomi Hijau

Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menambahkan, pemerintah Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang akan mulai menjabat pada Oktober nanti perlu memiliki komitmen kuat. Mereka perlu mengimplementasikan kebijakan ekonomi hijau. Sehingga, Indonesia bisa segera beralih dari ekonomi ekstraktif.

“Aktivitas ekonomi ekstraktif memaksa Bumi melampaui batasan yang dimilikinya dan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk bisa hidup sejahtera,” ungkap Leonard.

Dengan demikian, Leonard menekan bahwa perlu ada komitmen politik yang kuat dari pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mengurangi ketergantungan terhadap industri ekstraktif. Mereka harus mendorong beralih ke ekonomi hijau untuk mengatasi krisis lingkungan dan sosial dari industri pertambangan saat ini.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top