Jakarta (Greeners) – Hari Hak Konsumen Sedunia diperingati setiap tahun pada 15 Maret. Industri perlu menawarkan alternatif pilihan produk dan kemasan yang ramah lingkungan untuk mengurangi polusi plastik. Hal ini sebagai salah satu bentuk pemenuhan hak konsumen.
Deputy Director Dietplastik Indonesia, Rahyang Nusantara mengatakan, plastik sekali pakai yang saat ini banyak digunakan dalam kemasan produk tidak dapat didaur ulang dengan aman dan berkelanjutan. Faktanya, produk plastik juga menjadi salah satu faktor yang merusak lingkungan. Bahkan, plastik bisa mencemari lingkungan daratan hingga perairan.
“Semakin lama terpapar di lingkungan, kemasan-kemasan ini akan terdegradasi menjadi mikro dan nano plastik. Ini sudah harus kita tanggapi secara serius. Termasuk industri, untuk menjaga kesehatan kita dalam mengemas produknya, tidak hanya menjaga untuk tetap profit,” ungkap Rahyang kepada Greeners, Kamis (14/3).
Menurutnya, salah satu alternatif yang bisa industri lakukan yaitu beralih ke sistem guna ulang. Sistem ini menggunakan kemasan yang aman dan bisa untuk guna ulang sehingga menjadi solusi utama, terutama bagi industri makanan dan minuman. Sebab, produk tersebut akan masuk ke dalam tubuh.
BACA JUGA: Isi dan Guna Ulang Solusi Tepat Kurangi Plastik
Kemasan sachet yang sampahnya mencemari lingkungan juga harus mulai beralih ke sistem guna ulang. Pada sistem ini, kemasan bisa dikembalikan dan dicuci, kemudian diisi oleh produk kembali sebelum dijual kembali.
“Alternatif kemasan guna ulang non plastik lebih ramah lingkungan dan aman bagi manusia. Dengan melakukan sistem guna ulang yang luas, kemasan-kemasan non plastik ini justru lebih berkelanjutan daripada kemasan plastik,” ujar Rahyang.
Banyak Plastik Sekali Pakai di Laut
Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhammad Reza Cordova mengungkapkan, berdasarkan penelitiannya masih banyak sampah plastik sekali pakai di lautan. Sampah itu sebagian berasal dari aktivitas darat yang berakhir di lautan.
“Lebih dari 70% sampah plastik di lautan adalah sampah plastik sekali pakai. Pada tahun 2018, jumlah sampah plastik yang bocor ke lautan berkisar 615.000 ton, jumlah ini menurun menjadi 359.000 ton pada tahun 2023,” jelas Reza.
Ia juga mengatakan, sampah plastik yang bocor ke laut dapat menyebabkan biota laut terkontaminasi mikroplastik hingga menyebabkan kematian. Hampir seluruhnya dari sekitar 7.000 spesies yang hidup di lautan mengandung plastik (mikroplastik). Bahkan, mamalia besar seperti paus yang terdampar di pantai-pantai di seluruh dunia terkontaminasi plastik di saluran pencernaan mereka.
Konsumen Perlu Bijak Memilih Produk dan Kemasan
Rahyang menegaskan bahwa konsumen juga perlu bijak dalam memilih produk dan kemasan. Konsumen sudah saatnya memilih produk dan kemasan produk yang jauh lebih ramah lingkungan, aman, dan berkelanjutan.
Apalagi, saat ini sudah banyak bermunculan opsi guna ulang seperti toko curah dan konsep sistem guna ulang lainnya yang komprehensif. Kendati demikian, konsumen bisa memilih opsi tersebut untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dengan lebih ramah lingkungan.
“Semakin besar pengaruh konsumen, produsen akan mempertimbangkan dengan baik kebutuhan konsumen,” ungkap Rahyang.
Negara PBB Negosiasi Perjanjian Plastik
Sementara itu, saat ini sejumlah negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sedang menyusun perjanjian global untuk mengakhiri polusi plastik dalam INC (Intergovernmental Negotiating Committee). Sejumlah negara melakukan perundingan International Legally Binding instrument (ILBI) on Plastic Pollution, Including in The Marine Environment .
“Nafas dari perjanjian global tentang polusi plastik ini adalah ‘untuk menjaga kesehatan manusia dan lingkungan’ dan ‘mengedepankan siklus daur hidup secara penuh’. Sehingga, kita perlu memastikan bahwa narasi kesehatan ini muncul di semua aspek pembahasan substansi perjanjian,” imbuh Rahyang.
BACA JUGA: Tekan Laju Sampah 2024, Perlu Perkuat Komitmen Guna Ulang
Indonesia pun semakin meningkatkan keseriusannya terhadap perjanjian plastik global ini melalui kampanye publik yang kolaboratif. Kampanye publik tersebut adalah RESIK (Redefining Solutions on Plastic Pollution Towards Integrated Policy and Knowledge) untuk menyambut INC-4 di Kanada pada April 2024.
Kampanye RESIK merupakan inisiasi Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL) dengan dukungan Kedutaan Kanada di Indonesia, beberapa organisasi masyarakat sipil, serta komunitas yang memiliki perhatian sama.
Ada beberapa program dalam kampanye RESIK ini. Di antaranya seminar dan workshop, kompetisi, dan aksi lainnya. Melalui program tersebut, RESIK telah memberikan sebuah ruang bagi masyarakat luas untuk mengetahui lebih jauh tentang bahaya polusi plastik, ancaman yang timbul dari plastik, hingga informasi soal perjanjian plastik secara global.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia