Jakarta (Greeners) – Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi menyatakan bahwa saat ini kepemilikan mobil di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara Jepang dan Thailand. Menurutnya, tahun 2012, dari 1.000 orang penduduk Jakarta, sekitar 37 orang yang memiliki mobil. Jika konsumsi kendaraan roda empat di kota-kota besar di Indonesia lebih besar lagi, maka jalanan akan macet seperti di Thailand.
“Terimakasih Toyota, terimakasih Daihatsu, Anda bikin macet Jakarta. Tapi, dengan ekspor, perintah saya, bikin macet di negara lain,” katanya yang disambut tawa dan tepuk tangan para tamu yang menghadiri pembukaan pameran otomotif “22nd Indonesia International Motor Show (IIMS) 2014” di Jakarta, Kamis (18/09).
Lebih lanjut ia menyatakan, bahwa tahun 2014, industri otomotif mengalami surplus hingga 2,5 milyar dollar. Nilai ekspor industri otomotif tahun ini diprediksikan akan mencapai 4,5 milyar dollar dengan impor sebesar 2 milyar dollar.
“Oleh sebab itu, industri otomotif, baik komponen, barang setengah jadi, maupun barang jadi, akan menjadi salah satu barang ekspor yang paling penting. Bahkan, menurut kami, pada tahun 2020 akan menjadi (barang ekspor) nomor tiga setelah kelapa sawit serta produk turunannya, dan produk alas kaki,” katanya.
Lutfie juga menyampaikan, bahwa kebijakan mobil LCGC (low cost green car) sangat penting karena akan membuat Indonesia menjadi basis produksi untuk mobil sedan.
“Elite-nya industri otomotif tetap adalah mobil sedan. Oleh sebab itu, basis konsumsi kelas menengah harus diperkuat dengan insentif untuk sedan, terutama LCGC, dan ini adalah tren ke depan,” ujarnya.
Di temui Greeners di lokasi yang sama, Sekertaris Umum Gaikindo, Noergardjito, juga menyatakan bahwa tingginya angka produksi mobil tidak berhubungan dengan kemacetan. Ia menyontohkan negara Jepang dengan angka produksi hingga 6.000 unit, tidak mengalami masalah kemacetan.
“Perlu ada kebijakan yang teintegrasi antara kebijakan industri, lingkungan hidup, energi, infrastruktur, dan perpajakan,” jelasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa kebijakan LCGC dan produksi mobil hybrid perlu didukung. Namun, khusus untuk produksi mobil berteknologi hybrid, perlu didukung dengan infrastruktur yang memadai agar mobil yang ramah lingkungan benar-benar terwujud.
“Bukan karena masyarakat tidak mau (menggunakan mobil hybrid). Tapi, dengan tidak adanya infrastruktur, maka tidak ada yang kepingin beli, jadi tidak ada market. Kalau tidak ada market, ya industri tidak bikin. Itu saja. Sesimpel itu,” pungkasnya.
(G08)