Jakarta (Greeners) – Harga minyak dunia yang anjlok beberapa waktu belakangan memaksa para pelaku industri hulu minyak dan gas bumi (migas) harus kembali mengkaji ulang berbagai rencana kegiatan industrinya. Imbas yang paling jelas terlihat adalah terjadinya penundaan beberapa proyek agar industri dapat bertahan di tengah harga minyak yang masih belum menguntungkan.
Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menyatakan ada beberapa permasalahan mendasar dalam sektor migas di Indonesia. Menurutnya, kebutuhan dan cadangan minyak dan gas bumi sama sekali tidak berimbang. Salah satu contohnya adalah cadangan energi fosil Indonesia yang relatif rendah dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi.
Selain itu, pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) masih berjalan datar tanpa ada peningkatan apapun. Apalagi, katanya, hingga saat ini pemerintah masih belum memiliki peta jalan, cetak biru, dan program pengembangan energi berkelanjutan yang signifikan.
“Ini semua berimbas pada potensi terjadinya krisis energi dan krisis ekonomi yang semakin besar. Hal ini juga mengancam Ketahanan Energi Nasional sehingga rencana pembangunan berkelanjutan juga akan terhambat,” katanya, Jakarta, Selasa (10/05).
Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan, Rudy Prawiradinata, mengatakan kejatuhan harga minyak dunia di kisaran USD 43 per barel juga dikhawatirkan dapat menyebabkan peningkatan laju kemiskinan di Indonesia.
Hal ini membuat pemerintah harus mengoreksi jumlah Anggaran Pembiayaan Belanja Negara (APBN) 2016 karena penerimaan dari sektor migas diperkirakan tidak sesuai dengan rencana. Koreksi ini dilakukan agar pemangkasan anggaran dapat dialihkan dengan memaksimalkan beberapa program andalan pemerintah.
“Infrastruktur juga jadi salah satu sektor penting yang harus kita tingkatkan. Pengembangan infrastruktur juga harus sinergis dengan sistem penganggaran dan memerhatikan struktur dan pola ruang,” jelasnya.
Tanpa efisiensi, terusnya, target-target ekonomi akan sulit untuk dicapai. Untuk itu, demi mendukung kesejahteraan masyarakat, pemerintah tetap mendorong berjalannya program-program sosial pemerintah seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Beras miskin (raskin), dan bidang-bidang ketenagakerjaan lainnya.
Sekretaris Indonesian Petroleum Association (IPA), Ronald Gunawan, menambahkan, dengan kondisi harga minyak dunia yang berada di bawah 50 dollar AS per barel, menyebabkan banyak sumur produksi yang mengeluarkan biaya di atas harga minyak. Akibatnya, pengembangan sumur dihentikan.
“Penundaan kegiatan pencarian cadangan minyak ini akan memberikan dampak yang cukup panjang bagi industri tentunya,” katanya.
Di sisi lain, Kepala Kajian dan Pengembangan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Khalisah Khalid, mengatakan bahwa ekspansi industri batu bara untuk kepentingan ekspor dan industri telah membuat ketergantungan terhadap energi kotor di Indonesia. Padahal, Indonesia masih memiliki sumber energi bersih terbarukan yang melimpah dan jauh lebih bisa diakses oleh rakyat.
“Kita akan jauh lebih aman dalam konteks ekonomi kalau situasi batubara turun, tapi Indonesia masih terus menggenjot produksi batubara. Selain itu tidak pernah dilihat kerugian ekonomi dari berbagai industri tambang batubara, contohnya di Samarinda. Itu bukti semrawut massif industry batubara. Ada 24 anak mati di lubang tambang. Ini tak ternilai. Masa depan anak-anak terancam di industri kotor ini,” tutupnya.
Penulis: Danny Kosasih