Jakarta (Greeners) – Salah satu solusi penanganan sampah yang tengah berkembang saat ini adalah model bisnis ekonomi melingkar atau circular economy. Sistem ekonomi ramah lingkungan yang berasal dari Eropa ini berupaya mempertahankan nilai produk agar dapat digunakan berulang-ulang tanpa menghasilkan sampah (zero waste) melalui cara daur ulang (recycling), penggunaan kembali (reuse) atau produksi ulang (remanufacture).
Industri daur ulang dianggap mampu membantu keberhasilan terciptanya sirkular ekonomi atau arus kegiatan ekonomi yang lebih ramah lingkungan ini. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia, Christine Halim saat mengisi acara Green Ramadhan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Menurutnya, pemanfaatan ulang barang-barang bekas pakai, mampu membantu pemerintah dalam mencegah pencemaran akibat limbah khususnya plastik yang sulit terurai dalam tanah.
BACA JUGA: Sampah Plastik dan Illegal Fishing Masalah Paling Besar di Laut Indonesia
Selain mencegah pencemaran, kegiatan daur ulang pun mampu memberikan penghasilan kepada semua stake holder yang terlibat di dalamnya seperti pemulung, bank sampah, serta tenaga kerja di sektor daur ulang yang padat karya. Karena, katanya lagi, mata rantai daur ulang plastik di Indonesia memang tergolong padat karya mulai dari pemulung, pengepul, penggiling, pabrik pelet, pabrik barang jadi hingga pedagang grosir.
“Meningkatnya industri daur ulang ini juga mampu membantu pemerintah di dalam penghematan devisa negara. Apalagi, bahan baku industri ini tidak akan pernah habis karena akan terus kembali ke dalam siklusnya,” terang Christine, Jakarta, Rabu (21/06).
Namun, terusnya, industri yang banyak membantu mencegah pencemaran lingkungan ini bukan tanpa rintangan, khususnya dalam hal regulasi serta sosialisasi terhadap masyarakat. Dari sisi tenaga kerja pun, ia berharap pemerintah bisa mengaktifkan dan melindungi kegiatan daur ulang plastik yang melibatkan ratusan ribu tenaga kerja golongan marjinal.
“Terlebih ruang hidup industri ini pun masih belum leluasa karena selalu jadi ‘sasaran tembak’ oleh kepala daerah dan aparat setempat,” tambahnya.
Berly Martawardaya, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga Ketua Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menjelaskan bahwa di Eropa, sistem ekonomi melingkar sudah tidak asing untuk diterapkan di dunia industri. Hal ini dikarenakan pola pikir masyarakat Eropa sudah bergerak ke arah bagaimana mengelola keuangan bagi industri berkelanjutan.
BACA JUGA: Finlandia Tawarkan Kerjasama Teknologi Alternatif Pengolahan Sampah
Sedangkan di Indonesia, konsep ekonomi melingkar, dikatakan Berly masih baru memasuki tahap awal atau tahap dimana masyarakat harus mulai mengubah pola pikirnya tentang aktifitas ekonomi dan industri. Apalagi, banyak industri ekstraktif yang tidak peduli pada sumberdayanya dan menghabiskan sumberdaya tersebut tanpa memikirkan bagaimana apabila sumberdaya mereka itu habis.
“Di Indonesia semuanya masih merasa kaya. Apa saja dipakai langsung buang dan langsung habis. Padahal mindset ini yang harus dirubah, karena semua berawal dari pola pikir kita. Contohnya saja, di beberapa negara sudah ada kewajiban semua sampah yang dihasilkan oleh manufaktur harus ditangani oleh perusahaan itu sendiri,” ujar Berly.
Sedangkan menanggapi industri daur ulang sampah, ia meyakini kalau industri tersebut bisa saja menjadi pelopor konsep sirkular ekonomi di Indonesia. Menurutnya, sektor industri daur ulang memiliki potensi, yang jika didukung oleh regulasi yang kuat akan mampu menyerap banyak tenaga kerja sekaligus membantu pemerintah dalam mengurangi pencemaran lingkungan.
Penulis: Danny Kosasih