Industri dan Pemerintah Perlu Bangun Sistem Transparansi Polusi

Reading time: 3 menit
Industri dan pemerintah perlu membangun sistem transparansi polusi. Foto: Dini Jembar Wardani
Industri dan pemerintah perlu membangun sistem transparansi polusi. Foto: Dini Jembar Wardani

Jakarta (Greeners) – Industri di Indonesia masih terus menghasilkan polusi dalam jumlah besar yang berdampak pada kesehatan dan lingkungan. Masyarakat sipil mendorong Indonesia untuk membentuk Pollution Release Transfer Register (PRTR) atau sistem informasi data terkait polusi yang transparan. Hal itu bisa menguatkan semua pihak untuk memulihkan lingkungan berbasis data yang tepat.

Bahan kimia yang terkandung dalam polusi dari industri itu tidak bisa terus dibiarkan dan penting untuk segera ditangani. Apabila kandungan racun tersebut tidak segera diketahui, tentu penanganan pun tidak tepat sehingga bisa mengancam kesehatan masyarakat dan memicu kerusakan lingkungan.

Maka dari itu, Indonesia sudah semestinya untuk membentuk PRTR. Sistem tersebut merupakan basis data lepasan dan transfer polutan dari industri ke lingkungan yang terbuka untuk publik. Keberadaan PRTR mendorong transparansi dan akuntabilitas industri dalam pengelolaan lingkungan, serta meningkatkan akses publik terhadap informasi cemaran.

Sayangnya, saat ini Indonesia belum memiliki PRTR meskipun beberapa direktorat di KLHK sudah memiliki beberapa platform pelaporan digital. Namun, pelaporan digital ini belum terintegrasi dan menganut keterbukaan data sebaik dengan sistem PRTR.

BACA JUGA: LSM Adukan Kerusakan Ribuan Terumbu Karang di Perairan Binor ke KLHK

Hal tersebut menyebabkan minimnya informasi tentang jenis dan jumlah polutan yang industri lepaskan. Padahal, data transparasi itu perlu ada untuk tindakan yang efektif, informasi yang jelas, dan mudah dipahami untuk publik, para ahli, dan pembuat kebijakan.

Co-Founder dan Senior Advisor Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati mengatakan bahwa berpikir kritis terhadap isu lingkungan terkini sangatlah penting. Apalagi, isu-isu ini berpotensi viral dengan cepat. Sehingga, publik dapat mengonfirmasi ulang apa yang sebenarnya terjadi.

“Perlu adanya urgensi yang tercetus, misalnya karena penyakit berbahaya yang tiba-tiba muncul di masyarakat, hal itu bisa mendorong untuk merancang PRTR di Indonesia ini. Saat ini juga masih sulit sekali penyakit itu dikaitkan dengan permasalahan lingkungan, padahal sangat erat,” kata Yuyun di International Conference Promoting Transparent Pollution Control, di Jakarta, Rabu (5/6).

Industri dan pemerintah perlu membangun sistem transparansi polusi. Foto: Freepik

Industri dan pemerintah perlu membangun sistem transparansi polusi. Foto: Freepik

Sistem Data Perlu Proaktif

Sementara itu, peraturan tentang keterbukaan informasi publik di Indonesia sudah ada. Namun, informasi tersebut belum sesuai dengan sistem PRTR. Sebab, PRTR itu adalah sistem yang proaktif dari pemerintah. Dalam hal ini, industri juga harus mau patuh melaporkan emisi yang mereka hasilkan.

Peneliti Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG), Dyah Paramita telah melihat PRTR dari sisi regulasi. Dyah juga mengatakan PRTR itu merupakan sistem untuk akses informasi tanpa perlu publik meminta data ke pemangku kebijakan.

“Data sudah tersedia seharusnya. Jadi, ketika ingin mengetahui data polusi itu tidak perlu lagi kirim surat yang memakan waktu cukup panjang,” ungkap Dyah.

BACA JUGA: Terumbu Karang yang Rusak di Raja Ampat Mencapai 18.882 Meter Persegi

Berdasarkan pengalaman, organisasi masyarakat sipil seringkali kesulitan meminta data kepada pihak industri. Climate and Energy Campaigner Greenpeace, Bondan Andriyanu pun merasa janggal dengan beberapa sektor industri yang merasa bahwa ‘data emisi merupakan rahasia dagang’. Sehingga, tidak ada transparasi terkait hal tersebut.

“Maka dari itu, keterbukaan data memang sangat perlu industri dan pemerintah lakukan,” kata Bondan.

Data Polusi Harus Satu Kesatuan

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Nadia Astriani juga menekankan pentingnya transparasi data dalam mengidentifikasi pencemaran atau kerusakan lingkungan. Menurut Nadia, penegak hukum seringkali hanya berpedoman pada regulasi yang ada, sementara hasil penelitian akademisi atau NGO menunjukkan adanya zat toksik itu belum tercantum. Semestinya seluruh data baik dari pemerintah, akademisi, dan NGO perlu menjadi satu kesatuan.

“Hal ini menimbulkan ‘perang data dan informasi’ dan mempersulit proses penegakan hukum,” ujar Astri.

Direktur Srikandi Lestari, Mimi Surbakti membuktikan hal itu. Ia telah terlibat dalam memperjuangkan hak masyarakat untuk lingkungan sehat di Pangkalan Susu, Sumatra Utara. Menurut Mimi, masyarakat di sana telah terdampak pencemaran dari PLTU Pangkalan Susu.

Mimi menyampaikan bahwa sulit mendapatkan informasi publik seperti AMDAL dan informasi penyakit tertinggi di daerah tersebut dari instansi naungan pemerintah. Ia mengatakan, butanya masyarakat akan data lingkungan menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat Pangkalan Susu akan keseriusan pemerintah dalam melestarikan lingkungan mereka.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top