Jakarta (Greeners) – Informasi tentang kawasan konservasi laut (KKL) dan penelitian kelautan di Indonesia masih sulit didapat. Padahal, informasi merupakan elemen penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan PP 60 tahun 2007.
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Iskandar Zulkarnaen, mengatakan bahwa sulitnya mendapatkan informasi mengakibatkan waktu, tenaga, dan dana banyak terbuang, tidak dapat membuat kebijakan dengan cepat dan tepat, bahkan kebutuhan data yang diperlukan pun tidak dapat ditemukan.
Menurut Iskandar, saat ini LIPI masih melakukan pengumpulan data terkait jumlah dan jenis keanekaragaman hayati laut di Indonesia. Hal ini dikarenakan data terkait keanekaragaman hayati laut Indonesia masih jauh lebih sedikit dibandingkan data keanekargaman hayati wilayah terestrial (daratan). Dengan kondisi data yang belum terkumpul seperti sekarang, lanjutnya, siapapun masih sulit untuk memantau kondisi keanekaragaman hayati laut di wilayahnya sendiri.
BACA JUGA: Pengelolaan Tujuh Taman Nasional Laut Masih Dalam Otoritas KLHK
“Di laut kita masih belum mempunyai data pasti tentang keanekaragaman hayatinya. Kita masih terkonsentrasi pada pengembangan basis datanya. Kalau datanya belum terkumpul, kita tidak bisa melihat tren baik pertumbuhan maupun kerusakannya,” katanya kepada Greeners, Jakarta, Selasa (21/06).
Berbeda dengan keanekaragaman hayati laut, data terumbu karang dikatakan Iskandar sudah bisa digunakan untuk memantau perkembangan terumbu karang. Hanya saja, untuk biota laut bergerak, Indonesia masih belum memiliki basis data yang kuat. Kondisi ini membuat LIPI maupun lembaga-lembaga riset dan penelitian lainnya masih belum bisa memantau tren kerusakan, pengurangan maupun peningkatan kondisi dan jumlah keanekargaman hayati laut Indonesia.
Kebijakan Satu Data
Senada dengan Iskandar, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Agus Darmawan menyatakan data keanekaragaman hayati laut Indonesia masih minim.
Dahulu, katanya, Indonesia memiliki data Indonesia biodiversity atau data atlas tentang biodiversitas Indonesia yang dibuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) hingga 10 tahun ke depan dengan melibatkan LIPI dan beberapa lembaga lainnya. Hanya saja memang ia mengakui hingga saat ini masih dalam proses pengumpulan data.
“Sekarang ini yang sedang didorong oleh pemerintah termasuk KKP adalah kebijakan satu data yang akan menjadi kebutuhan strategis sebagai sumber untuk menentukan dan membuat kebijakan kedepannya, karena seringkali banyak Kementerian lain atau lembaga lainnya dengan kewenangan masing-masing menerbitkan data-data yang cenderung berbeda,” jelasnya.
BACA JUGA: UNEA-2 Dukung Manajemen Terumbu Karang Berkelanjutan Bagi Indonesia
Perbedaan data-data ini, lanjut Agus, banyak disebabkan oleh penggunaan metode penelitian yang berbeda di setiap lembaga maupun kementerian. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kebijakan yang bersifat nasional dalam menentukan standar penggunaan metode penelitian, khususnya untuk meneliti keanekaragaman hayati Indonesia, termasuk keanekaragaman hayati laut.
“Dengan kebijakan satu data, maka data dari masing-masing kementerian maupun lembaga bisa terkonsentrasi dan terintegrasi. Ini akan memudahkan dalam mendata keanekaragaman hayati Indonesia termasuk di laut. Ini yang sedang kami bahas di KKP sekarang,” ujarnya.
Sebagai informasi, LIPI melalui Pusat Penelitian Oseanografi ditunjuk oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai Wali Data untuk bidang Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Padang Lamun. Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain menyatakan, penunjukkan ini dilakukan sebagai cara untuk mengumpulkan data akurat tentang kekayaan laut Indonesia yang masih minim.
“Status kesehatan terumbu karang yang terpantau sejak tahun 1993 hingga 2015, hanya lima persen yang statusnya sangat baik, 27 persen baik, 37 persen buruk, dan 31 persen jelek,” katanya.
Penulis: Danny Kosasih