Jakarta (Greeners) – Greenpeace Indonesia memperkirakan Indonesia masih akan terjebak emisi karbon sekitar 30 hingga 40 tahun ke depan. Ini seiring peningkatan pembangunan PLTU batu bara dan perlambatan transisi energi baru terbarukan.
Climate and Energy Campaigner Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari mengungkap, sektor energi merupakan penyumbang emisi terbesar di Indonesia tahun 2030 sebesar 58 %. Saat ini Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil batu bara, terutama untuk kelistrikan.
“Pertumbuhan (bahan bakar fosil batu bara) ini juga sejalan dengan peningkatan emisi gas rumah kacanya,” katanya dalam Webinar “Merdeka dari Energi Fosil”, baru-baru ini.
Bahkan lanjutnya Indonesia berada dalam posisi pertama pertumbuhan PLTU batu bara di antara negara-negara G20. Adapun kenaikan persentase dari tahun 2015 hingga 2020 yaitu sebanyak 44 %.
Sementara dilihat dari tren 10 tahun ke depan berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2021 hingga 2030, ternyata listrik Indonesia masih bergantung pada bahan bakar fosil sebanyak 88 %.
Ironisnya, pemerintah Indonesia bahkan dalam satu tahun mendatang masih menambah PLTU batu bara sebesar 13,8 GW (39 PLTU) atau 43 % dari total kapasitas PLTU eksisting yaitu 31,9 GW. “Jika hal ini dibiarkan terus menerus maka kita akan terjebak dengan emisi karbon dalam 30 hingga 40 tahun ke depan,”ucapnya.
Indonesia Masih Andalkan Batu Bara
Sementara saat ini, rekomendasi Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC), jika ingin mencapai 1,5 derajat Celcius maka harus menutup 80 PLTU pada tahun 2030. “Sedangkan kita malah menambah pembangunan PLTU. Ini sangat bertentangan,” imbuh dia.
Adila menambahkan, Indonesia menargetkan pada tahun 2025 akan menumbuhkan 23 % energi baru terbarukan. Sementara, masih banyak tantangan untuk menumbuhkan renewable generation. Tahun 2020 pertumbuhan energi baru terbarukan Indonesia masih mencapai 12,6 %.
“Itu artinya untuk menuju target 23 % di tahun 2025 maka pemerintah harus membangun energi baru terbarukan mencapai 10,6 GW lagi,” tuturnya.
Sementara Analyst Climate Policy Initiative Prabu Siagian menyatakan, untuk memperluas pembangunan energi baru terbarukan maka harus memastikan seberapa besar potensi pendukungnya. Misalnya, faktor geografis wilayah potensial, seperti di luar Jawa.
“Hanya ada 19 % energi terbarukan di Jawa. Selebihnya harus kita bangun di luar Jawa karena potensinya yang besar, termasuk dijual ke luar negeri,” kata dia.
Menurutnya, perkiraan potensi energi baru terbarukan hanya 443 GW. Dengan 10 GW kapasitas terpasang, 62 GW lainnya secara teori dapat menggantikan batu bara, gas dan solar. “Sedangkan 371 GW sisanya secara teori dapat memperluas kapasitas terpasang Indonesia saat ini hingga 6 kali,” ujarnya.
Libatkan Generasi Muda
Kepala Departemen Lingkungan Hidup BEM UI Kevin Wisnumurti menyatakan, Indonesia menetapkan target bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025. Langkah ini untuk melawan perubahan iklim. Ia menyatakan, pentingnya pelibatan seluruh lapisan masyarakat, termasuk generasi muda.
Ia berharap, pemerintah menggandeng pelibatan aktif generasi muda melawan perubahan iklim. Yang sering kali terjadi, sambung dia yaitu generasi muda dikesampingkan dalam perumusan kebijakan.
“Padahal, kami generasi muda adalah generasi paling terdampak perubahan iklim atau paling rentan. Tapi selama ini kita hanya dipandang sebagai objek,” ungkapnya.
Kevin menyebut, 6 dari 10 anak muda memahami bahwa perubahan iklim terjadi sebagai akibat dari aktivitas manusia. “Kita paling sadar bahwa perubahan iklim ini nyata dan di depan mata,” tandasnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin