Jakarta (Greeners) – Indonesia, bersama tujuh negara lain di Asia, tercatat lamban dan tidak membuat kemajuan yang stabil dalam mewujudkan komitmen-komitmen kesepakatan transisi energi internasional. Salah satunya kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Indonesia masih terus meningkat, meski Indonesia telah menyepakati peralihan dari batu bara ke energi terbarukan.
Temuan ini terungkap dalam laporan Climate Analytics “The Impact of Global Climate Pledges on National Action: A Snapshot Across Asia”. Laporan ini menyebut bahwa komitmen transisi energi di tingkat internasional bersifat sukarela, tidak mengikat secara hukum, dan tidak memiliki mekanisme penegakan yang jelas.
Akibatnya, komitmen transisi energi internasional tidak sepenuhnya tercermin dalam kebijakan negara-negara yang telah menandatanganinya, termasuk Indonesia. Hal ini menimbulkan kesenjangan upaya untuk merealisasikan komitmen tersebut.
BACA JUGA: KLH Minta Industri Pantau Emisi untuk Jaga Kualitas Udara
“Salah satu masalah yang kami temukan dari komitmen-komitmen internasional ini adalah sifatnya yang sukarela dan tidak mengikat, yang akhirnya membatasi dampaknya. Pemerintah negara-negara dapat membuat pernyataan keras bahwa telah menandatangani komitmen tersebut dalam COP, tanpa harus melakukan tindakan konkret,” kata Nandini Das, salah satu penulis laporan tersebut.
PLTU Batu Bara Meningkat
Sebagai contoh, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi kapasitas batu bara, dengan menandatangani The Global Coal to Clean Power Transition Statement pada COP26. Negara ini juga telah menargetkan penghentian seluruh PLTU pada 2056. Hal itu tercantum dalam peta jalan netral karbon yang disusun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Selain itu, pada Konferensi Tingkat Tinggi G20 Brasil 2024, Presiden Prabowo Subianto menyatakan penghentian seluruh pembangkit listrik berbasis energi fosil sebelum 2040. Namun, hingga kini, Indonesia belum mengumumkan kerangka kebijakan beserta rencana aksi untuk mencapai target-target tersebut.
Laporan ini justru menemukan kapasitas PLTU batu bara Indonesia terus meningkat. Saat ini mencapai 45 persen dari total pembangkitan listrik.
Karena tidak menyepakati klausul penghentian pembangunan PLTU baru, Indonesia tetap melanjutkan proyek pembangkit tersebut. Tercatat PLTU dengan total kapasitas 1 gigawatt (GW) telah mendapat perizinan atau mulai konstruksi sejak semester kedua 2023. Bahkan, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024-2060 masih memproyeksikan tambahan PLTU hingga 76,5 GW, naik 26,8 GW dari 2024.
Belum Ada Kemajuan
Peralihan ke energi terbarukan di Indonesia juga belum ada kemajuan signifikan. Proyek dan investasi baru energi terbarukan, terutama energi surya dan angin, masih cukup kecil dibandingkan dengan potensinya.
Tercatat, investasi proyek energi terbarukan di Indonesia hanya US$400 justru pada 2023, lebih rendah dari Thailand. Kondisi ini merupakan akibat dari kebijakan energi terbarukan yang cukup rumit.
Indonesia juga telah menyepakati Global Methane Pledge pada COP26. Komitmen ini untuk memangkas emisi metana hingga 30 persen di bawah ambang batas 2022 pada 2030.
Laporan ini mencatat, emisi metana Indonesia justru naik 7 persen pada 2022-2023. Namun, pemerintah belum merencanakan langkah apa pun untuk memangkas emisi metana di berbagai sektor ekonomi.
BACA JUGA: Kawasan Hutan Pendidikan UNMUL Rusak Imbas Tambang Ilegal
Minimnya dampak komitmen-komitmen transisi energi internasional, juga terlihat di tujuh negara lain yang menjadi objek penelitian laporan Climate Analytic. Filipina dan Vietnam, misalnya, masih terus menambah kapasitas batu bara, meski telah berkomitmen menguranginya.
Sementara, Korea Selatan dan Jepang masih sangat bergantung pada impor batu bara. Tak hanya itu, Singapura, Filipina, dan Vietnam masih terus melakukan ekspansi proyek impor gas alam cair.
Penulis utama laporan, Thomas Houlie, mengatakan bahwa meski komitmen-komitmen internasional ini menjadi landasan bagi kemajuan, berbagai hal di dalamnya tidak sepenuhnya tercantum dalam dokumen NDC (nationally determined contribution). Kebijakan negara-negara yang menyepakatinya pun belum sepenuhnya mencerminkan komitmen tersebut.
“NDC yang disusun tahun ini, menjadi peluang bagi pemerintah untuk menunjukkan apakah komitmen yang bersifat sukarela ini akan mendorong ambisi dan aksi negara atau hanya sekadar jargon politik dan diplomatic,” ujar Thomas.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia