Jakarta (Greeners) – Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmennya dalam pengurangan produksi dan konsumsi Hidroflorokarbon (HFC) sebagai upaya mengurangi pemanasan global. Langkah tersebut Indonesia lakukan melalui ratifikasi Amendemen kelima Protokol Montreal atau Amendemen Kigali.
Amendemen yang akan mulai berlaku pada 14 Maret 2023 ini mengatur pengurangan produksi dan konsumsi HFC secara global.
Dalam keterangannya, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK, Laksmi Dhewanthi mengatakan, pengendalian konsumsi HFC melalui penerapan Amendemen Kigali akan membantu mencegah pemanasan global sampai dengan 0,4 °C pada tahun 2100. Selain itu langkah ini untuk melindungi lapisan ozon.
Kasubdit Pengendalian Bahan Perusak Ozon Direktorat Mitigasi Perubahan Iklim Zulhasni menyatakan, dampak ratifikasi ini sangat signifikan untuk pengendalian emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
“Dampaknya bisa mengurangi emisi GRK dan juga berkontribusi untuk memenuhi komitmen Pemerintah Indonesia yang ditetapkan NDC,” katanya kepada Greeners, Jumat (27/1).
Kontribusi HFC Terhadap Pemanasan Global Sangat Besar
Dibanding karbon dioksida, sambung dia kontribusi HFC terhadap pemanasan global jauh lebih besar yakni berkisar 124 hingga 14.800 kali lipat. Melalui Amendemen Kigali ini ia berharap penurunan emisi GRK bisa serentak secara global.
“Kalau pengurangan konsumsi di Indonesia saja tentu tidak signifikan. Tapi kalau dilakukan semua negara pasti akan mengurangi emisi GRK,” imbuhnya.
Zulhasni menambahkan setelah ratifikasi ini maka pemerintah telah terikat dengan komitmen pembatasan HFC di industri sesuai dengan jadwal pembatasan secara bertahap.
“Oleh karena itu harus segera melakukan berbagai intervensi seperti penetapan kebijakan pengaturan impor HFC, membina industri supaya mulai mencari alternatif teknologi ramah lingkungan,” ungkapnya.
Komitmen Amendemen Kigali
Indonesia tak pernah memproduksi Hidroflorokarbon sehingga untuk memenuhi kebutuhannya berasal dari impor negara lain. Ia menyebut, pembinaan industri yang concern pada teknologi ramah lingkungan sangat penting.
Tujuannya tak lain agar Indonesia tidak menjadi “tempat penampungan teknologi” yang sudah usang tak terpakai negara lain. “Selain itu, jika industri kita masih menggunakan teknologi lama tentu produk mereka akan sulit bersaing dengan produk baru yang lebih ramah lingkungan. Performanya lebih bagus dan penggunaan energinya lebih efisien,” tuturnya.
Jika industri di Indonesia masih menggunakan HFC maka akan kesulitan untuk menembus pasar ekspor ke negara-negara maju. Adapun mereka telah melarang atau membatasi penggunaan HFC.
Sesuai jadwal pengurangan konsumsi Hidroflorokarbon, Indonesia akan memulai pengendalian pada tahun 2024 dengan mengembalikan konsumsi HFC ke baseline.
Angka baseline merupakan konsumsi Hidroflorokarbon pada tahun 2020-2022 lalu dengan 65 % baseline konsumsi HCFC. Saat ini Indonesia juga masih dalam proses penghapusan HCFC sampai dengan tahun 2030.
Secara bertahap pengurangan mulai dari 10 % pada tahun 2029, 30 % pada 2035, 50 % pada 2040, dan 80 % pada tahun 2045.
Penulis: Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin