Jakarta (Greeners) – Sebuah peta interaktif baru menunjukkan bahwa biaya paparan timbel di Indonesia mencapai sekitar US$ 37,8 milyar per tahun. Angka ini jauh melebihi jumlah bantuan pembangunan yang diterima Indonesia per tahun, yaitu US$ 150 juta atau sekitar 2 trilyun Rupiah berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, Republik Indonesia, APBN 2016.
Senior Advisor dari BaliFokus, Yuyun Ismawati menyampaikan, berdasarkan penelitian dan peta interaktif berjudul Economic Costs of Childhood Lead Exposure in Low-and Middle-Income Countries yang dirilis oleh Department of Pediatrics, New York University School of Medicine, pada pertemuan besar United Nations Environment Assembly (UNEA) yang sedang berlangsung di Nairobi, menunjukkan bahwa paparan timbel telah mengikis banyak keuntungan dari bantuan pembangunan luar negeri dan pembangunan berkelanjutan akan sangat terganggu selama paparan timbel masa kanak-kanak terus terjadi.
“Menurut penelitian NYU, biaya paparan timbal di seluruh dunia adalah sekitar US$ 977 milyar dengan kerugian ekonomi setara dengan US$ 134,7 milyar di Afrika (4,03% dari produk domestik bruto/PDB di wilayah ini), US$ 142,3 milyar di Amerika Latin dan Karibia (2,04% dari PDB di wilayah ini), dan US$ 699,9 milyar di Asia (1,88% dari PDB di wilayah ini),” katanya seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners,” Jakarta, Selasa (24/05).
Dari sudut pandang sebagai satu negara, menurutnya, penurunan IQ pada populasi secara umum berarti meningkatkan biaya-biaya sosial yang lebih besar dan mengurangi modal intelektual, serta faktor-faktor lain yang berdampak negatif pada ekonomi Indonesia, sebagaimana ditunjukkan dalam peta NYU. Perkembangan otak anak-anak secara permanen dapat dirugikan oleh paparan timbel yang salah satu dampaknya adalah berkurangnya poin IQ yang berkorelasi dengan penurunan potensi produktif seumur hidup.
Ketika seorang anak terpapar timbel, lanjutnya, sistem sarafnya akan terganggu dan berpotensi membuat anak mengalami kesulitan di sekolah dan terlibat dalam perilaku impulsif dan tindak kekerasan. Paparan timbel pada anak-anak juga terkait dengan meningkatnya hiperaktifitas, ketidak-pedulian, gagal lulus dari pendidikan menengah, gangguan perilaku, kenakalan remaja dan penggunaan narkoba.
“Salah satu hal yang paling penting yang dapat kita lakukan untuk mengurangi paparan anak-anak dari timbel di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah adalah memastikan timbel tidak lagi digunakan dalam cat rumah tangga dan cat lain yang membuat anak-anak beresiko terpapar (seperti misalnya pada cat mainan anak-anak),” pungkasnya.
Sebagai informasi, pada tahun 2013 dan 2015, BaliFokus sempat merilis Laporan Nasional Timbal dalam Cat Enamel Rumah Tangga Baru di Indonesia, menganalisa kandungan timbel dalam cat yang dijual di pasar nasional. Penelitian tersebut menemukan 77% sampai dengan 83% dari enamel sampel cat dekoratif yang diuji mengandung timbal di atas 90 ppm.
Angka 90 ppm adalah maksimum kandungan timbel dalam cat yang diperbolehkan di banyak negara maju. Pada akhir 2014, Badan Standarisasi Nasional (BSN) mengeluarkan sebuah standar baru nasional yang bersifat sukarela, SNI 8011: 2014, yang membatasi kandungan timbel dalam cat enamel-dekoratif yang diproduksi di Indonesia sebesar 600 ppm atau lebih rendah. Dari 121 contoh cat dalam studi BaliFokus tahun 2013 dan 2015, sekitar 61% dan 78% dari cat yang dianalisa mengandung timbel di atas 600 ppm.
Penulis: Danny Kosasih