Jakarta (Greeners) – Forest Watch Indonesia (FWI) mengeluarkan data kajian bahwa luas hutan alam di Indonesia terus berkurang setiap tahunnya. Selama periode tahun 2013 sampai 2017, hutan alam di Indonesia telah berkurang seluas 5,7 juta hektare, dari sebelumnya seluas 88,5 juta hektare (pada hutan 2013) menjadi 82,8 juta hektare (pada tahun 2017). Jika dirata-ratakan, setiap tahunnya Indonesia kehilangan hutan alam seluas 1,4 juta hektare, atau setara dengan lebih dari 4 kali luas lapangan sepak bola setiap menitnya.
Manager Kampanye dan Advokasi FWI, Mufti Barri mengatakan dari total luas hutan alam yang hilang (deforestasi) selama antara tahun 2013 dan 2017 di Indonesia, Kalimantan merupakan region yang terdeforestasi paling luas dengan nilai mencapai lebih dari 2 juta hektare.
BACA JUGA : Karhutla Di Indonesia, Lebih Dari 300 Ribu Hektar Lahan Terbakar
“Dengan laju deforestasi tertinggi, region Kalimantan bukanlah paru-paru dunia lagi. Ketidakadilan dibalik deforestasi semakin nampak. Hutan hanya dilihat sebagai sumber ekonomi, bukan sebagai sumber kehidupan. Paradigma ini yang terus berkembang sejak jaman penjajahan hingga saat ini,” ujar Mufti saat konferensi pers Mengemukakan Tematik Spasial HGU serta Potret Keadaan Hutan Indonesia & Deforestasi 2013-2017 di Novotel Cikini, Jakarta, Senin (30/09/2019).
Mufti mengatakan pengkerdilan terhadap makna deforestasi kerap dilakukan demi kepentingan yang mengatasnamakan “pembangunan”. Beberapa contoh kasus seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terkesan “mengkambing hitamkan” kondisi cuaca dan masyarakat kecil.
Dalam hal tersebut, Kepala BNPB juga pernah mengatakan pada rapat koordinasi penanganan karhutla di Provinsi Jambi, 23 September lalu, mengatakan bahwa ia memiliki data penyebab Karhutla adalah 99% ulah manusia, dan 80% lahan yang terbakar menjadi kebun.
Lanjut Mufti, di sisi lain Pemerintah juga gencar mengkampanyekan dan mempromosikan produk kelapa sawit, yang sebagian besarnya merupakan hasil dari pembukaan lahan dengan membakar hutan. Dua hal yang bertolak belakang yang dilakukan oleh Negara.
“Argumentasi-argumentasi yang mengatasnamakan pembangunan selalu bermunculan dan mengalahkan hakikat dari fungsi hutan itu sendiri. Dampaknya seperti konflik, bencana alam, dan penurunan kualitas lingkungan yang semakin menjadi-jadi diiringi dengan hutan alam yang terus tergerus,” tambah Mufti.
Deforestasi tak berhenti di tengah sikap ketertutupan informasi pengelolaan sumber daya hutan. Belum transparannya pengelolaan hutan dan lahan masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. contoh kasus ialah sengketa informasi antara masyarakat sipil dengan kementerian ATR/BPN tentang dokumen HGU.
BACA JUGA : Turun Hujan Di Area Karhutla, Jumlah Titik Hotspot Mulai Menurun
Sampai dengan tahun 2019 Forest Watch Indonesia mencatat ada 11 kasus sengketa yang melibatkan Kementerian ATR/BPN, baik di nasional maupun di daerah. Walaupun Mahkamah Agung telah memutuskan HGU merupakan informasi terbuka, akan tetapi Kementerian ATR/BPN tidak juga membuka informasi tersebut ke publik.
Pengkampanye FWI, Agung Ady menambahkan pemerintah dengan berbagai macam instansinya telah mengeluarkan statement bahwa HGU merupakan dokumen yang dikecualikan atau tertutup. Klaim sebagai negara hukum telah dinodai oleh Pemerintah itu sendiri.
“Kami juga mengadukan Kementerian ATR/BPN ke Ombudsman RI atas ketidakpatuhan Kementerian ATR/BPN dalam penyelenggaraan pelayanan informasi publik sejak 22 Agustus 2018. Hasil temuan Ombudsman RI mengungkapkan bahwa memang ada maladministrasi yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN dan meminta agar Menteri ATR/BPN segera melaksanakan tindakan korektif berupa penyusunan mekanisme pemberian informasi HGU ke FWI maupun ke publik secara luas, namun hingga hari ini rekomendasi tersebut tidak juga dijalankan oleh Menteri Sofyan Djlalil,” tutup Agung.
Penulis : Dewi Purningsih