Jakarta (Greeners) – Meski penutupan COP-4 Konvensi Minamata berlangsung hingga dini hari, sejumlah kesepakatan krusial berhasil lahir lewat Deklarasi Bali. Indonesia dinilai berhasil sebagai tuan rumah COP-4 Konvensi Minamata terkait komitmen dunia menghapus penggunaan merkuri.
COP-4 Konvensi Minamata berlangsung 21-25 Maret di Nusa Dua Bali. Hampir 600 peserta perwakilan dari 103 negara pihak Konvensi Minamata, badan PBB, IGO dan NGO hadir dalam pertemuan itu.
Salah satu keberhasilan dari pertemuan negara-negara pihak yang bersifat internasional ini antara lain adanya pembentukan institutional frame work berupa Effectiveness Evaluation Group. Hal ini nantinya akan melaksanakan review terkait implementasi pelaksanaan dari kesepakatan Konvensi Minamata.
Selain itu ada juga pembentukan Open-Ended Scientific Group (OESG) sehingga efektivitas implementasi Konvensi Minamata dapat terukur dengan parameter objektif.
Presiden COP-4 Konvensi Minamata yang juga Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, effectiveness evaluation merupakan kerangka yang menentukan tata cara evaluasi terhadap pengaturan konvensi. Hal tersebut juga terkait langkah-langkah negara-negara lakukan dalam mewujudkan tujuan Konvensi Minamata
“Walau ada beberapa hal yang harus disesuaikan dari masukan negara-negara lain. Memang agak alot, ketika berbicara masalah misalnya terkait dengan expert yang bisa dikirim per regional,” kata Vivien dalam konferensi pers virtual, Sabtu (26/3).
Selain itu, Vivien juga menyebut bahwa COP-4 Konvensi Minamata ada keputusan terkait amandemen lampiran A dan B tentang produk dan proses industri menggunakan merkuri. Terdapat 10 jenis produk yang akan phasing out beserta dengan tahunnya. Sedangkan 4 produk mengandung merkuri masih belum berhasil membuahkan kesepakatan dan akan lanjut masuk perundingan ke COP-5.
COP-4 Konvensi Minamata Hasilkan Deklarasi Bali
Kepala Delegasi RI Muhsin Syihab mengungkapkan, keputusan paling penting pada COP-4 Konvensi Minamata kali ini yaitu terkait dengan pembentukan institutional frame work. “Kalau entry into force COP Minamata pertama tahun 2017 maka diharapkan tahun 2023 review sudah dapat dilaksanakan,” ucapnya.
Menurutnya, Indonesia berhasil menunjukkan kepemimpinannya pada COP-4 kali ini. Pada COP-3, para pihak gagal menyepakati untuk mekanisme review institutional frame work-nya.
Akan tetapi, sambung dia hal yang krusial yakni memastikan pembentukan Effectiveness Evaluation Grup disepakati. Lalu ada Open-Ended Scientific Group (OESG) yang harapannya sudah bisa melakukan mandat.
OESG merupakan sebuah kelompok para ilmuwan yang akan melakukan review terhadap efektivitas implementasi Konvensi Minamata. Forum ini sangat objektif karena berdasarkan referensi ilmiah.
“Ini bukan yang politis tapi berbasis sains. Sehingga diharapkan ada rekomendasi dari mereka dan akan dilaporkan ke Effectiveness Evaluation Group. Ini tahun depan semoga sudah berhasil dan melaporkan kembali ke COP di tahun 2023,” papar Muhsin.
Ia menambahkan, Indonesia berhasil menunjukkan kepemimpinannya, dalam berbagai aspek, baik politis hingga kontribusi besarnya melalui Deklarasi Bali. “Harapan kita tentu dengan COP-4 Minamata menjadi keputusan yang monumental saat indonesia menjadi tuan rumah. Ada Deklarasi Bali, ada Effectiveness Evaluation Group, ada Open Ended Scientific Group. Ini semua menjadi jantung dari mesin review Konvensi Minamata,” imbuhnya.
COP-4 Mengakhiri Penggunaan Amalgam Gigi di Seluruh Dunia
Sementara, IPEN Heavy-Metals Co-Chair Gilbert Kuepouo menyatakan, keputusan dalam COP-4 menjadi akhir dari penggunaan amalgam gigi di seluruh dunia.
“Merkuri adalah racun saraf yang berbahaya dan tidak dibenarkan lagi digunakan, terutama di mulut wanita dan anak-anak. Meskipun kami belum memiliki tanggal penghentian secara global, keputusan ini berarti bahwa penghentian secara penuh hanyalah masalah waktu,” katanya melalui siaran pers.
Terobosan tersebut atas usul negara Afrika bahwa amalgam gigi berbasis merkuri berdampak besar terhadap kesehatan manusia.
Keputusan lain yakni adanya kesepakatan penghapusan penggunaan lampu fluorescent kompak (CFL) dan lampu fluorescent katoda dingin (CCFL) secara bertahap pada tahun 2025. Hal ini seiring dengan semakin luasnya ketersediaan lampu LED sebagai pengganti.
Permasalahan lain yang belum terselesaikan dalam konvensi ini adalah kesenjangan imbas kurangnya dana untuk mengidentifikasi dan membersihkan lokasi terkontaminasi merkuri akibat penambangan emas rakyat dan skala kecil.
Ledakan penambangan emas yang menggunakan merkuri ini merajalela di Amerika Latin, Afrika dan Asia Tenggara. Tempat-tempat yang terkontaminasi merkuri meracuni penduduk desa dan berakumulasi dalam rantai makanan. Kondisi ini juga mengakibatkan tingginya merkuri pada perempuan usia subur.
IPEN lead on ASGM Yuyun Ismawati mengatakan, Global Environmental Facility perlu memfokuskan kembali pendanaan konvensi untuk mengidentifikasi dan membersihkan situs yang terkontaminasi merkuri.
“Alih-alih mempromosikan penggunaan sianida yang bertujuan untuk mempertahankan produksi dan pasokan emas ke London, New York dan Swiss. Tujuan konvensi adalah melindungi kesehatan manusia bukan melindungi rantai pasokan emas global,” tandasnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin