Jakarta (Greeners) – Keberadaan Convention on Biodiversity Development (CBD) dan Protokol Nagoya tidak terlepas dari kesadaran bersama secara internasional tentang perubahan iklim dan pentingnya perlindungan terhadap keanekaragaman hayati.
CBD sendiri kemudian diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation Convention on Bioligical Diversity. Sementara Protokol Nagoya diratifikasi melalui UU Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya yang membahas akses untuk sumber daya genetik benefit sharing (pembagian keuntungan) yang adil berdasarkan pemanfaatannya terhadap konservasi keanekaragaman hayati.
Sayangnya, menurut DR. Endang Sukara, peneliti senior mikrobiologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sejak Indonesia meratifikasi Protokol Nagoya tahun 2013 lalu, Indonesia masih belum juga memiliki kekuatan untuk melakukan strategi kebijakan nasional terkait dengan Access Benefit Sharing (ABS).
BACA JUGA: Pemerintah Mulai Merinci Implementasi NDC Indonesia
“Kita harus segera memiliki negosiator-negosiator ulung untuk ini di setiap daerah dan itu harus kasus per kasus. Kita juga harus punya banyak lawyer di bidang keanekaragaman hayati. Jadi meski kita sudah meratifikasi UU nomor 11 tahun 2013, tapi Indonesia sebenarnya juga belum kuat benar,” terangnya kepada Greeners.co saat mengisi Diskusi Bhumi yang diselenggarakan Yayasan Kebun Raya Indonesia (YKRI) di Jakarta, Rabu (27/09).
Pengaturan dalam Protokol Nagoya sendiri bertujuan untuk memberi akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional, termasuk pemanfaatan produk turunannya (derivatif). Tujuan lainnya yaitu mencegah pencurian sumber daya genetika atau biopiracy.
BACA JUGA: LIPI: Kebun Raya Bisa Menangkal Praktik Biopiracy
Selain itu, lanjutnya, yang menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia adalah Indonesia masih belum siap menjalankan UU nomor 11 tahun 2013 tersebut. Endang juga mengatakan bahwa sampai saat ini masih belum ada peraturan turunan yang mengatur bagaimana implementasi dari Protokol Nagoya, bahkan untuk pembentukan management authority pun masih belum dilakukan.
“Saya pernah kasih usul, pakai saja institusi yang ada tapi tugasi sesuai dengan kompetensi masing-masing. Misalnya Kehutanan untuk bidodiversity di kawasan hutan, LIPI sebagai penkajian akademis, pertanian, kelautan dan perikanan dan semuanya itu basisnya harus jelas. Harus ada clearing house yang benar yang juga connected dengan negara peserta ratifikasi. Ini yang paling penting sekarang, bentuk organ-organ management authority-nya secepat mungkin,” pungkasnya.
Sebagai informasi kegiatan Diskusi Bhumi merupakan bagian dari rangkaian Gerakan Jaga Bhumi yang diinisiasi oleh Yayasan Kebun Raya Indonesia. Gerakan Jaga Bhumi sendiri telah diluncurkan pada Mei 2017 dan akan digelar hingga puncaknya pada bulan April 2018 dengan berbagai macam rangkaian kegiatan menarik yang informasinya bisa dilihat pada website www.jagabhumi.com.
Penulis: Danny Kosasih