Jakarta (Greeners) – PLTSa Merah Putih sudah selesai dibangun di Bantargebang, Kota Bekasi. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, ada 11 kota lainnya selain DKI Jakarta yang akan menerapkan PLTSa, namun rumitnya lelang dan kerjasama dengan pihak ketiga dalam pembuatan insenerator masih menjadi kendala.
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengatakan bahwa percepatan PLTSa di 12 kota ini harus segera dilaksanakan. Untuk mendukung hal ini, model dari PLTSa Merah Putih harus segera disertifikasi dan dimasukkan ke dalam katalog elektronik (e-catalogue) produk dan jasa agar tidak ada lagi hambatan daerah untuk membangun PLTSa.
“Kita ini sudah darurat sampah, oleh karenanya 12 kota yang ada di Perpres Nomor 35/2018 harus didorong terus (pembangunannya). Percontohan PLTSa Merah Putih ini dibuat sertifikasinya sekaligus dimasukan ke dalam e-catalogue produk dan jasa, ditetapkan harganya supaya walikota atau bupati tahu dan langsung menggunakan e-catalogue dari BPPT ini jadi tidak perlu lelang. Karena hambatan PLTSa ini di lelang yang terus-menerus membuat gagal jadi tidak selesai-selesai,” ujar Nasir usai acara peresmian PLTSa Merah Putih Bantar Gebang di Bekasi, Senin (25/03/2019).
BACA JUGA: PLTSa Merah Putih di Bantargebang Siap Beroperasi
Di sisi lain, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rosa Vivien Ratnawati mengatakan bahwa pembangunan PLTSa tidak bisa dilakukan semuanya oleh BPPT. Saat ini BPPT baru bisa menerapkan PLTSa dengan kapasitas 100 ton, ia mengharapkan kedepannya kapasitas ini bisa lebih besar lagi.
“Pembangunan PLTSa ini semuanya berjalan bersamaan. Teknologi BPPT digunakan tapi daerah juga sudah ada yang kontrak dengan negara lain seperti Jepang dan Korea. Karena daerah lain ini tidak bisa menunggu BPPT jadi kita ambil juga teknologi dari luar seperti Tangerang Selatan menggunakan dari Korea dan Legok Nangka dari Jepang. Saya mengharapkan kota-kota kecil bisa menerapkan PLTSa Bantar Gebang ini,” ujar Vivien kepada Greeners.
Mengenai kota-kota lain yang tidak tercantum dalam Perpres Nomor 35/2018, Vivien mengatakan kalau kota-kota tersebut bisa dimasukkan dalam inventaris untuk bekerjasama dengan BPPT, terutama kota-kota yang susah mencari lahan TPA.
“Memang saat ini darurat sampah dan ini sudah ada di beberapa kota di Indonesia, contohnya saja kota yang tidak mendapatkan Adipura kemarin, seperti Jakarta, Bekasi, Medan. Diharapkan mereka ini bisa membangun PLTSa untuk menangani permasalahan di daerah mereka,” ujar Vivien.
BACA JUGA: Peraturan Menteri Terkait Subsidi Tipping Fee untuk PLTSa dalam Pembahasan
Sebelumnya Menristek Dikti Mohammad Nasir mengusulkan kepada Menko Maritim Luhut Pandjaitan untuk mengubah konsep kebersihan, di mana saat ini pengelolaan kebersihan semua tanggungjawab pemerintah supaya diubah menjadi tanggungjawab masyarakat juga. Seperti persoalan tipping fee atau operasional, menurut Nasir seharusnya masyarakat bisa membayar biaya tersebut.
Menurut Nasir, konsep pengelolaan sampah yang baik adalah membersihkan kota dari sampah hingga bersih dan ditangani dengan baik. Tapi kalau konsep sampah itu tanggung jawab negara dengan dikumpulkan dan dihitung menjadi nilai rupiah, ini adalah hal yang salah.
“Saya mengusulkan kepada Pak Menko Maritim bagaimana kalau konsep dari membersihkan sampah ini diubah karena sampah itu masalah kita semua bukan pemerintah. Memang teknologi kita adaptasi dari beberapa negara seperti Singapura, Jepang, Korea tapi dari orang-orangnya, desain, dan perencanaan kita yang melakukan sendiri. Terbukti PLTSa Bantar Gebang ini berhasil dikembangkan, maka dari itu kota seperti Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, Jogja, Solo, Semarang, dan Makassar yang termasuk di dalam 12 kota ini harus didorong terus,” ujar Nasir.
Penulis: Dewi Purningsih