Indonesia dan Malaysia Tolak Kebijakan Pajak Impor CPO Perancis

Reading time: 2 menit
Foto: efrimal bahri/Kemenko Maritim

Jakarta (Greeners) – Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia sepakat menolak kebijakan Pemerintah Prancis yang akan menaikan pajak impor minyak sawit (CPO) dan produk turunannya. Kesepakatan tersebut ditandai dengan penandatangan prasasti Sekretariat Council of Palm Oil Producion Countries (CPOPC) yang dilakukan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli dan Menteri Perusahaan Perladangan dan Komoditi Malaysia Dt.Amar Douglas Unggah Embas.

Dalam keterangan resminya, Rizal Ramli mengatakan bahwa kebijakan Perancis tersebut telah menyalahi aturan main dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Rizal yang juga duduk sebagai Ketua Dewan Pengarah CPOPC (Dewan Negara-negara Produsen Kelapa Sawit dunia) bahkan menyatakan rencana Prancis tersebut bisa membunuh petani kelapa sawit gurem di Indonesia dan Malaysia karena Indonesia dan Malaysia adalah produsen 85% minyak sawit dunia.

“Pajak Impor CPO itu di Prancis dikenal sebagai “pajak Nutella”, karena merek selai ini memakai CPO sebagai bahan utamanya. Sudah seharusnya Prancis memerhatikan nasib 2 juta petani kelapa sawit kecil di Indonesia dan 400.000 di Malaysia. Sangat tidak adil bila kenaikan pajak impor CPO Prancis dimaksudkan untuk meliput jaminan sosial rakyat Prancis,” tuturnya, Jakarta, Sabtu (06/01).

Menurut mantan Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid ini pula, kebijakan pajak progresif untuk semua produk berbasis minyak kelapa sawit tersebut akan sangat berpotensi merenggangkan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Perancis.

Dalam rancangan amandemen Undang-Undang Nomor 367 tentang Keanekaragaman Hayati yang berlaku di Perancis, terusnya, pajak progresif untuk produksi sawit dimulai pada tahun 2017. Prancis akan mengenakan pajak impor CPO sebesar 300 euro/ton pada 2017, 500 euro/ton pada 2018, 700 euro/ton pada 2019, dan naik lagi menjadi 900 Euro pada 2020.

Kebijakan itu, lanjutnya, sangatlah aneh karena pajak tersebut tidak berlaku pada biji rapa, bunga matahari, dan kedelai atau minyak nabati yang diproduksi di Perancis. Bahkan, RUU tersebut juga mencantumkan adanya tambahan bea masuk sebesar 3,8 persen untuk minyak kelapa sawit yang digunakan untuk produk makanan dan 4,6 persen untuk minyak inti kelapa sawit atau kernel.

“Sikap sangat tidak bersahabat ini seperti sengaja ingin mematikan industri sawit Indonesia,” kata Rizal.

Datok Sri Douglas Uggah Embas juga menyatakan bahwa Malaysia sudah melayangkan nota protes resmi terkait rencana kenaikan pajak impor CPO tersebut. Prancis hanya beralasan, kebun kelapa sawit merusak lingkungan.

“Padahal CPO justru mengurangi emisi karbon jika bahan bakar minyak berbasis fosil diganti minyak berbahan baku nabati,” tuturnya.

Sebagai informasi, Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia yang mengekspor 4,6 juta ton minyak sawit mentah dan olahan tahun lalu ke Eropa, termasuk Perancis. Rencana penetapan pajak impor CPO Prancis sendiri terdapat dalam rancangan amandemen Undang-undang No. 367 tentang Keanekaragaman Hayati yang diputuskan senat (majelis tinggi) Prancis pada 21 Januari lalu. Dalam RUU tersebut, disematkan pajak progresif untuk produk sawit yang mulai berlaku pada 2017.

RUU Pajak impor CPO Prancis pernah diusulkan pada 2012, namun RUU tersebut ditolak parlemen pada 2013. RUU yang digagas oleh senator Yves Daudigny itu lebih dikenal sebagai “pajak Nutella” di Prancis, karena selai bermerek Nutella mengunakan minyak sawit sebagai bahan baku utamanya.

Dalam situsnya, Nutella menyatakan tetap mendukung penggunaan minyak sawit yang ramah lingkungan. Per kapita penduduk Prancis rata-rata mengonsumsi 2 kilogram minyak sawit dan secara keseluruhan 126.000 ton/tahun. Jika pajak impor CPO dinaikkan higga tiga ratus persen, plot jaminan kesehatan Prancis akan bertambah 40 juta Euro.

Penulis: Danny Kosasih

Top