Jakarta (Greeners) – Indonesia harus memasuki fase transisi energi dengan menggenjot pengembangan energi baru terbarukan (EBT) termasuk salah satunya nuklir. Karena Indonesia tidak bisa mengandalkan energi lain yang masih memiliki keterbatasan.
Pakar Lingkungan Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa mengatakan, Indonesia jangan sampai menutup potensi bagi energi nuklir. Selain itu, pengembangan energi baru terbarukan lainnya pun harus mulai tergenjot.
“Tidak menutup potensi energi nuklir. Karena memang kalau kita mengandalkan batu bara dan gas itu jelas tidak mungkin. Begitu pula penggunaan energi dari air baik bendungan dan lainnya. Kita sudah tahu batasan dan kelemahannya. Demikian juga dengan energi dari matahari dan angin yang masih punya banyak keterbatasan teknologi,” kata Mahawan kepada Greeners di Jakarta, Selasa (7/12).
Menurutnya, dalam mendorong penerapan EBT secara masif di Indonesia termasuk salah satunya energi nuklir, perlu disertai percepatan pengembangan ekosistem dan sumber daya manusia.
“Pengembangan ekosistem dan sumber daya manusia itu harus dipercepat. Sehingga sumber daya alam kita seperti panas bumi, sinar matahari, dan angin dapat kita manfaatkan secara maksimal. Karena nuklir juga punya catatan mengenai bahayanya maka kita harus mengejar teknologi baru untuk proses transisi energi,” tegasnya.
Mahawan menambahkan, percepatan investasi atau alokasi anggaran untuk riset dan penelitian EBT juga perlu sebagai dukungan pengembangan ekosistem EBT.
Indonesia Membutuhkan Transisi Energi
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengatakan, dalam transformasi energi pihaknya telah merencanakan revitalisasi fasilitas ketenaganukliran secara besar-besaran di Indonesia. Revitalisasi ini ada di 3 lokasi yaitu Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Bandung dan Yogyakarta. Targetnya revitalisasi ini dapat mulai terlaksana tahun 2023.
“Revitalisasi ini tidak hanya meliputi upgrading atau peningkatan dari reaktor yang sudah ada tetapi juga meliputi pembangunan reaktor baru. Di sisi lain juga dekomisioner reaktor yang mungkin sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Dan yang paling penting adalah bagaimana kita mengembangkan fasilitas nuklir non reaktor,” kata Laksana dalam webinar bertajuk transisi energi baru-baru ini.
Laksana mengungkapkan, saat ini BRIN sedang melakukan negosiasi dengan berbagai pihak untuk melakukan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
“Kita sedang bernegosiasi dengan beberapa pihak untuk mulai masuk ke pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir khususnya PLTN generasi keempat dengan berbagai alternatif teknologi yang ada saat ini,” ungkapnya.
Selain untuk pemanfaatan energi, pengembangan PLTN ini harapannya sebagai sarana transfer teknologi, ilmu pengetahuan dan kemampuan dalam membangun PLTN.
Pemanfaatan EBT di Indonesia Masih Jauh dari Target
Anggota Dewan Energi Nasional As Natio Lasman mengatakan, dalam Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Peraturan Presiden No 22 Tahun 2017 Tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menetapkan target meningkatkan pemanfaatan EBT sebesar 23 % pada tahun 2025.
“Ini sekaligus juga memenuhi komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) untuk clean energy. Tetapi hingga semester satu tahun 2021 dari 23 % tadi baru 11,2 % jadi masih kurang dari separuhnya. Ini perjuangan yang berat untuk mencapai target tadi,” kata As Natio.
Dalam melakukan transformasi energi menuju net zero emissions (NZE) pada tahun 2050, As Natio menyebut terdapat sejumlah tantangan yang perlu Indonesia hadapi seperti kemampuan pembiayaan pembangunan infrastruktur, penggunaan teknologi EBT dan pemenuhan ketahanan energi nasional.
Pemensiunan PLTU Batu bara Perlu Segera Terimplementasi
Direktur Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) PLN Syofvi Felienty Roekman menjelaskan, PLN sudah mulai melakukan retirement atau pemensiunan terhadap penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Targetnya pada tahun 2025 sudah ada 1,1 Gigawatt (GW) PLTU yang tergantikan oleh EBT.
“Jadi memang retirementnya ini masih berdasarkan kontratual yang dilakukan PLN dengan pihak-pihak Independent Power Producer. Memungkinkan untuk tetap maju tetapi kami tentu membutuhkan dukungan untuk bisa melakukan itu,” ujarnya.
Deputi Fisika Institut Teknologi Bandung Zaki Su’ud mengatakan, semua sistem pembangkit energi bebas emisi karbon perlu pengembangan secara optimal guna mendukung ketahanan energi nasional yang bebas emisi karbon.
Belajar dari Jerman yang sempat mengalami bencana, pembangkit energi surya dan anginnya tidak optimal dengan terpaksa mengaktifkan kembali pembangkut batu baranya.
“Ketika kemarin ada bencana itu energi suryanya tidak berfungsi, anginnya tidak optimal akhirnya malah mengaktifkan lagi batu bara yang sangat kotor. Karena memang tidak berfikir kemungkinan-kemungkinan hypothetical breakdown. Di sini kita tidak boleh mengalami kesalahan fatal seperti Jerman,” kata Zaki.
Penulis : Fitri Annisa