Jakarta (Greeners) – Indonesia hanya tinggal menunggu hari jelang penandatangan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) terkait penerapan bahan bakar Euro 4. Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian LHK Dasrul Chaniago mengatakan, hingga sejauh ini, Kementerian Perhubungan serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah menyetujui penerapan Euro 4.
Menurut Dasrul, dua kementerian dan lembaga tersebut saat ini sudah memiliki teknologi pengukur emisi gas buang pada bahan bakar Euro 4. Bahkan, industri mobil justru meminta agar regulasi tersebut segera terealisasikan.
“Karena mereka selama ini buat produk dalam dua jenis, Euro 2 dan 4. Indonesia masih pakai Euro 2, sementara negara ekspor sudah pakai Euro 4. Jadi bulan ini semoga bisa ditandatangani Permennya,” ujar Dasrul, Jakarta, Rabu (18/05).
Pengesahan Permen tersebut direncanakan akan dilakukan pada tahun ini. Mobil jenis baru yang diproduksi sebelum Permen disahkan juga akan diberi waktu hingga empat tahun untuk menghabiskan sisa produksinya dan harus menerapkan teknologi Euro 4 pada tahun 2020.
“Sementara untuk mobil jenis baru yang diproduksi pasca Permen hanya diperbolehkan untuk menghabiskan sisa produksi dalam 2 tahun,” tambahnya.
Lebih lanjut Dasrul mengatakan bahwa dengan diberlakukannya Euro 4 yang memiliki Research Octane Number (RON) minimal 95 dan Sulfur 50, maka kualitas udara diyakini akan lebih baik dengan minimnya NOX, SOX, dan CO yang dihasilkan dari Pembakaran.
Meski demikian, kualitas pencemaran udara tidak hanya dipengaruhi oleh ketiga zat tersebut, masih terdapat Particulate Matter (PM) yang dihasilkan di udara. Saat ini saja, Jakarta dan beberapa kota di Indonesia baru memiliki sensor pengukur PM 10 yang dapat mengukur PM berukuran 10 mikrometer.
“Menurut rencana, tiga alat sensor yang akan dibangun tahun ini akan dapat menangkap perkembangan PM 2.5 yang memiliki ukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer,” kata Dasrul.
Sebagai informasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Program Lingkungan PBB (UNEP), pada tahun 2012 dan 2013 sempat melakukan penelitian terkait kerugian kesehatan dan sosial yang disebabkan pencemaran udara. Hasilnya, kerugian yang ditimbulkan menyentuh angka Rp38,5 Miliar. Ini termasuk biaya rumah sakit, biaya yang harus ditanggung keluarga pasien yang menunggu serta biaya kerugian dari perusahaan yang mengalami kekurangan tenaga pekerja dalam periode sakit tersebut.
Oleh karena itu, dibutuhkan upaya untuk memperbaiki kualitas udara, baik dalam regulasi maupun penerapan teknologi baru yang lebih ramah lingkungan.
Penulis: Danny Kosasih