Jakarta (Greeners) – Meski masih mempunyai pekerjaan rumah terhadap pengelolaan sampah, Indonesia berpotensi besar menjadi penampung sampah dunia setelah China menutup diri untuk menerima sampah dari berbagai negara. Terhadap kemungkinan ini, Aliansi Zero Waste Indonesia memperingatkan pemerintah Indonesia untuk meninjau dan mengetatkan regulasi atas impor limbah plastik dan kertas untuk perusahaan pengimpor.
Penasihat Senior Yayasan BaliFokus, Yuyun Ismawati mengatakan bahwa China menjadi negara penerima sampah terbesar dari berbagai negara dan Indonesia berada pada urutan ke dua. Namun saat ini pemerintah China sudah tidak lagi menerima sampah plastik dengan berlakunya kebijakan “National Sword”. Hal ini membuat perdagangan sampah, khususnya sampah plastik di seluruh dunia terguncang.
Negara-negara ASEAN termasuk Indonesia sudah menjadi negara pemroses sampah dan reja plastik, baik yang diimpor maupun dari sampah domestik. China mengambil peran yang jauh lebih besar untuk menyerap sampah plastik dunia. Menurut riset Amy L Brooks dan kawan-kawan (2018), “The Chinese Import Ban and Its Impact on Global Plastic Waste Trade” pada jurnal Science Advances, secara kumulatif selama tahun 1988 – 2016, China menyerap 45,1% sampah dunia.
“Jika China menjadi nomor satu dan sudah membatasi impor plastik secara ketat, kira-kira negara yang biasanya mengirim sampah ke China lalu akan mengirim ke mana? Karena saat ini penerima sampah terbesar di sekitar Asia. Tentu saja pemerintah Indonesia harus mawas diri, kalau tidak kita akan kebanjiran sampah plastik,” kata Yuyun di Jakarta, Kamis (21/03/2019).
BACA JUGA: Pemerintah Bentuk Kemitraan Aksi Plastik Global Tangani Sampah Plastik
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018, peningkatan impor sampah Indonesia sebesar 141% atau 283.152 ton, namun dengan angka ekspor 48% atau 98.450 ton. Angka ini menandakan ada 184.702 ton sampah masih ada di Indonesia di luar beban pengelolaan sampah domestik di dalam negeri.
Prigi Ariesandi dari Lembaga Kajian dan Konservasi Ekologi Lahan Basah (Ecoton) mengatakan bahwa sampah impor plastik yang didapat sebagian besar berasal dari Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada. Sampah tersebut terdiri dari 74% kemasan bungkus makanan, 20% kemasan produk rumah tangga, dan 6% kemasan produk pribadi (popok, bungkus sabun, sampo, dan lain-lain). Sampah-sampah tersebut didaur ulang di Jawa Timur yang lokasinya berdekatan dengan Kali Brantas.
“Sampah impor ini juga dijual ke warga seharga Rp1 juta per truk yang bisa dijual kembali dengan harga Rp2 juta. Sedangkan skrap plastik yang tidak bisa didaur ulang dijual sebagai pengganti bahan bakar kayu ke pabrik tahu setempat. Namun, hal yang sangat disayangkan residu dari impor plastik dan kertas ini dibuang ke bantaran Kali Brantas atau dibakar sehingga menimbulkan permasalah pencemaran air dan udara,” ujar Prigi.
Menurut Prigi, kandungan air di Kali Brantas sudah mengandung 292-2499 partikel mikroplastik per liter dan pada saluran pembuangan limbah 3.896 partikel per liter. Hal ini sangat memperhatinkan dan berbahaya karena Kali Brantas merupakan sumber air baku bagi 6 juta pelanggan PDAM di seluruh Surabaya.
BACA JUGA: HPSN 2019, Pemerintah Fokus pada Pencemaran Sampah Plastik
Atas permasalahan yang ditimbulkan ini, Peneliti Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Fajri Fadilah mengatakan bahwa Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun sudah cukup baik, bahkan ada pengawasan dari surveyor setiap bulan. Hanya saja implementasi yang ada di lapangan berbeda. Sesuai dengan Permendag tersebut sampah yang boleh diimpor seharusnya hanya limbah dari industri, bukan sampah domestik dari rumah tangga.
“Kalau dilihat kebanyakan sampah yang diterima Indonesia sudah terkontaminasi B3 dan ada sampah rumah tangga juga, seharusnya tidak boleh. Seharusnya pemerintah lebih ketat dalam pengawasan regulasi Permendag tersebut dan jika jenis limbah tidak sesuai kita berhak untuk mengembalikan limbah tersebut sesuai dengan regulasi, kalau tidak akan bertumpuk terus-menerus dan menjadi permasalahan terbaru,” ujar Fajri.
Sesuai dengan Permedag No. 31/2016, Pasal 2 berbunyi, “Limbah Non B3 yang dapat diimpor hanya berupa sisa, reja, dan skrap. Serta, Limbah Non B3 sebagaimana dimaksud hanya berasal dari bahan baku dan bahan penolong industri.”
Rekomendasi AZWI untuk Pemerintah Republik Indonesia:
1. Meninjau kembali kebijakan dan regulasi mengenai importasi sampah dan skrap, khususnya plastik dan kertas;
2. Membatasi bahan tercampur/kontaminan pada sampah dan skrap plastik/kertas yang diimpor hingga kurang dari 0.5%;
3. Mengembangkan sistem yang memampukan dan insentif untuk meningkatkan persentase daur ulang dari sampah di dalam negeri;
4. Melarang penggunaan bahan-bahan B3 sebagai aditif plastik dan saat mendaur ulang plastik;
5. Mengevaluasi kembali perusahaan-perusahaan yang memiliki izin impor plastik dan paper scrap, apakah sesuai perizinan yang diberikan dan praktik mereka tidak mencemari lingkungan.
Penulis: Dewi Purningsih