Jakarta (Greeners) – Pemerintah Indonesia memiliki posisi strategis untuk menunjukkan kepemimpinannya dalam The Fourth Meeting of the Conference of Parties (COP-4) Konvensi Minamata tahun ini. Penunjukan Indonesia sebagai Presiden COP-4 harapannya mampu menangani permasalahan dan ketimpangan pengurangan dan penghapusan merkuri di berbagai negara dunia. Bahkan sebagai tuan rumah, punya peran menetapkan ambang batas pencemaran merkuri yang kini masih menjadi polemik dunia.
Indonesia terpilih sebagai tuan rumah COP-4 berdasarkan keputusan sidang COP-3 Konvensi Minamata di Jenewa, 25 November 2019. Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Minamata melalui Undang Undang Nomor 11 tahun 2017 Tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury atau Konvensi Minamata mengenai Merkuri. Sebanyak 137 negara akan terlibat dalam COP-4 yang berlangsung di Bali pada 21-25 Maret 2022.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati menyatakan, Indonesia berkesempatan menunjukkan kepemimpinan dalam dunia internasional. Tujuannya untuk menyelesaikan berbagai persoalan, perbedaan isu dan pendapat menyusul upaya penghapusan produk-produk mengandung merkuri.
“Indonesia di sini dapat menunjukkan kepemimpinan internasional dalam hal penyelamatan lingkungan,” katanya dalam Webinar Menuju Mercury is History, di Jakarta, Jumat (18/3).
Menurut Vivien, saat ini masih ada ketimpangan perbedaan dalam menghadapi pengurangan dan penghapusan merkuri dari negara-negara yang tergabung dalam COP-4. Khususnya, negara-negara maju dan berkembang dalam menentukan pengaturan ambang batas (threshold) pencemaran terhadap merkuri.
“Batas itu mana yang bisa ditolerir, mana yang tidak bisa ditolerir sehingga bisa dikatakan pencemaran. Oleh karenanya kita membutuhkan kajian-kajian ilmiah, full of scientific based,” imbuhnya.
Perlu Sepakati Penentuan Ambang Batas Pengukuran Pencemaran Merkuri
Penentuan ambang batas merupakan kunci untuk mengukur implementasi dari pelaksanaan pengurangan dan penghapusan merkuri di negara yang tergabung dalam COP-4. Permasalahannya, negara-negara maju menginginkan banyak kriteria dan data untuk menentukan threshold. Sedangkan negara-negara berkembang dengan segala keterbatasannya merasa belum siap.
“Indonesia sebagai Presiden di sini punya kesempatan menengahi persoalan tersebut,” ucap Vivien.
Terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah Konvensi Minamata (COP-4) tak lepas dari wujud pengakuan dunia internasional terhadap pencapaian Indonesia dalam pengurangan dan penghapusan merkuri di Tanah Air.
Vivien menyebut, pengurangan dan penghapusan merkuri menyasar empat sektor prioritas, yakni kesehatan, manufaktur dan energi serta pertambangan. Hal itu mengacu Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 Tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri.
Berdasarkan laporan Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri, pengurangan merkuri pada bidang prioritas energi sebesar 719 kilogram. Kemudian di sektor kesehatan sebesar 4,73 ton dan penambangan emas skala kecil (PESK) sebesar 10,45 ton.
Khusus untuk sektor pertambangan, sambung Vivien, pemerintah melalui KLHK mendorong penghapusan merkuri di sektor pertambangan emas skala kecil (PESK). Ini menyusul target pengurangan dan penghapusan merkuri yang pemerintah pastikan tuntas 100 % pada tahun 2025.
Pemerintah memastikan akan mendampingi PESK legal yang tidak menggunakan merkuri atau ramah lingkungan. Saat ini, sudah ada sebanyak sembilan lokasi PESK yang telah melakukan pemanfaatan teknologi penambangan non merkuri.
Vivien juga menegaskan, pemerintah sangat mendukung upaya alih profesi yang bisa para PESK lakukan ke depan. “Ketika melarang untuk menambang emas dengan merkuri kemudian harus beralih profesi. Pemerintah juga harus membantu untuk alih profesinya seperti apa,” tuturnya.
Penghasilan Tak Menentu di PESK
Pendamping Kelompok Pelindung Hutan Bakti Wana Sari di Banyumas, Jawa Tengah Dhani Armanto mengungkapkan, aktivitas penambang PESK terus mengalami penurunan. Selain pemicunya pendapatan penambang yang sifatnya spekulasi, masyarakat lambat laun mulai sadar akan bahaya kegiatan ini.
“Kadang bisa sama sekali tak mendapatkan emas. Tapi kadang bisa menghasilkan banyak. Sifatnya tak menentu apalagi memasuki musim penghujan. Mereka kebanyakan takut karena rawan longsor,” kata Dhani.
Selain itu, penurunan kegiatan tambang emas pada masyarakat Banyumas juga karena semakin terbukanya mereka terhadap berbagai profesi. Misalnya, masyarakat mulai melirik kegiatan wirausaha. “Sudah jauh berkurang dibanding 5-10 tahun saat sedang marak-maraknya,” pungkasnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin