Jakarta (Greeners) – Indeks ketahanan pangan Indonesia di tahun 2021 merosot. Besarannya hanya 59,2. Nilai ini jauh berbeda dibanding indeks di tahun 2020 sebesar 161,2. Krisis iklim berdampak pada kurangnya produktivitas pertanian. Jika hal ini dibiarkan akan berujung pada krisis pangan.
Koordinator Data, Evaluasi dan Pelaporan Kementerian Pertanian (Kementan) Batara Siagian mengatakan, pentingnya memastikan kuantitas dan kualitas pangan. Ini menyusul melemahnya ketahanan pangan Indonesia pada tahun 2021 seiring dampak perubahan iklim.
“Perubahan iklim sangat berdampak pada krisis pangan. Termasuk pengurangan produksi pertanian dan kualitas nutrisi di dalamnya,” katanya dalam Webinar Kecukupan Pangan dan Krisis Iklim, Jumat (2/9).
Tingkat kemarau yang tinggi pada Agustus hingga September menjadi salah satu pemicu menurunnya luas panen padi tahun 2021 lalu. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) luas panen padi tahun 2021 hanya sekitar 10,41 juta hektare (ha) dan mengalami penurunan sekitar 2,3 persen atau 245.470 ha. Adapun untuk luas panen padi pada 2020 yaitu mencapai 10,66 juta ha.
Sementara secara kualitas, saat ini produk tanaman pangan masih jarang menggunakan jaminan mutu. Padahal, sambung dia ini sangat penting untuk memastikan nutrisi yang utuh dalam pangan yang petani hasilkan. “Padahal baik secara produk maupun proses harus ada standar dan sertifikasinya,” imbuhnya.
Selain itu, Batara juga menyorot ketergantungan impor bahan pangan lain dari luar negeri, seperti gandum. Sejatinya, sambung dia hal tersebut dapat kita tekan melalui substitusi pemanfaatan potensi yang Indonesia miliki. Hal ini juga menjadi jalan memperkuat ketahanan pangan.
“Misalnya kita saat ini banyak memanfaatkan sorgum untuk pengganti jagung sebagai bahan pangan. Meski memiliki cita rasa yang berbeda, ini suatu pembaruan yang harus terus kita tingkatkan,” ucapnya.
Ancaman Ketahanan Pangan
Rice Program Manager Rikolto Nana Suhartana menyatakan, perubahan iklim sangat petani rasakan dan berdampak multidimensional. Dampaknya mulai dari sumber daya, infrastruktur pertanian, hingga ketahanan dan kemandirian pangan.
Namun, sayangnya para petani tak memahami kekeringan dan banjir imbas perubahan iklim. “Bahkan mereka justru melakukan jalan pintas seperti pemakaian pupuk Nitrogen dan Fosfor yang mengakibatkan emisi gas rumah kaca,” ujarnya.
Tak hanya itu, pemakaian bahan-bahan tersebut menyebabkan hama dan penyakit lebih resisten hingga menyebabkan melemahnya kesehatan tanaman.
Sementara itu banyak hal yang menyebabkan penurunan hasil pertanian. Misalnya ketidaktepatan dalam pemupukan dan pengairan, dan para petani tak memiliki kalender tanam. Selanjutnya, benih yang tak terseleksi dengan baik hingga pasca panen yang masih tradisional.
Keliru Aplikasikan Pestisida
Senada dengannya, Guru Besar Purnabakti FISIP Universitas Indonesia Yunita Winarto berpandangan, selama ini para petani keliru berpikir dengan mengasumsikan pestisida sebagai “obat” hama. Padahal, obat berfungsi sebagai penyembuh tanaman. “Betapa melekat kuat asumsi ini memengaruhi alam pikir para petani kita hingga saat ini,” imbuhnya.
Para petani tambahnya, selama ini memilih cara belajar yang mengedepankan panca indera dan interpretasi subjektif. Padahal, pemahaman para petani terhadap perubahan iklim sangat penting dalam upaya adaptasi dan mitigasi.
Ia menekankan agar para petani menentukan jadwal tanam seiring dengan jadwal musim penghujan dan kemarau yang tak pernah pasti. “Dengan cara ini kita tak hanya dapat mengantisipasi kondisi pengairan yang bergantung pada curah hujan tapi juga ancaman populasi hama dan penyakit,” tandasnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin