Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menerbitkan kajian Indonesia Environmental Law Outlook 2021. Kajian ini memproyeksi keberlanjutan lingkungan hidup di tengah upaya pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19. Dalam kajiannya, ICEL menemukan banyak hal yang berpotensi melemahkan perlindungan lingkungan hidup.
Jakarta (Greeners) – Deputi Direktur Bidang Program dan Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim ICEL, Grita Anindarini, menilai tahun 2020 merupakan momen penting dalam perkembangan perlindungan lingkungan hidup di Tanah Air.
Masih pada 2020, pemerintah membuat kebijakan dan peraturan yang menyederhanakan hal-hal progresif yang ada dalam undang-undang sebelumnya. Salah satunya yakni undang-undang nomor 32 tahun 2009. Padahal, menurut Grita, regulasi ini sangat progresif, baik dalam penyusunan maupun implementasi.
Pemerintah, lanjutnya, beragumen penyederhanaan tersebut atas program pembangunan prioritas serta pemulihan ekonomi atas adanya krisis ekonomi selama pandemi Covid-19.
“Pemulihan ekonomi ini penting. Tapi pemulihan ekonomi tidak menegasikan perlindungan lingkungan hidup. Seharusnya pemulihan ekonomi tidak memberi kemungkinan bagi degradasi kualitas lingkungan hidup, tidak menghasilkan krisis iklim, dan berfokus pada kesejahteraan masyarakat,” ujar Grita dalam peluncuran Indonesia Environmental Law Outlook 2021, Kamis, (14/1/2021).
Peneliti Khawatirkan Kebijakan Pembangunan yang Minim Data
Grita menyebut tiga aturan dan kebijakan yang berdampak penting dalam pelemahan instrumen perlindungan lingkungan hidup. Tiga aturan yang pemerintah klaim sebagai strategi pemulihan ekonomi tersebut, yakni:
- Undang-undang Cipta Kerja,
- Revisi Undang-undang Mineral dan Batu Bara, serta
- Kebijakan Food Estate.
Lebih jauh, Grita mengkritisi hilangnya instrumen pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan dalam ketiga regulasi maupun kebijakan tersebut. Alih-alih menyederhanakan, Grita menilai aturan tersebut justru tidak sesuai dengan asas kehati-hatian. Pihaknya khawatir, penyederhanaan berdampak pada kurangnya bukti dalam pengambilan keputusan atau kebijakan.
“Penyederhanaan proses ini memunculkan keterburu-buruan dalam pengambilan keputusan tanpa bukti yang kuat,” jelasnya.
Grita mencontohkan program Food Estate yang kerap terjadi di hutan berfungsi lindung. Program Food Estate tersebut teratur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan nomor 24 tahun 2020. Hanya saja, sambungnya, peraturan tersebut bertentangan dengan perundangan yang lebih tinggi seperti Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Dalam pemaparannya, Grita menjelaskan perundangan Food Estate bertentangan sebab tidak masuk dalam kegiatan dalam kawasan hutan lindung seperti kegiatan pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan bukan kayu. Namun, pemerintah tetap menjalankan program Food Estate dengan menyertakan izin pemanfaatan kayu.
“Konsekuensinya, pohon-pohon dalam kawasan lindung dapat ditebang dan dimanfaatkan kayunya. Padahal dalam limitasi pemanfaatan hutan lindung harusnya hanya hasil hutan bukan kayu yang bisa dimanfaatkan,” tegasnya.
Baca juga: Aktivis Soroti Produsen sebagai Sumber Masalah Sampah Plastik
Rekomendasi ICEL untuk Pengelolaan Lingkungan Tahun 2021
Pada acara yang sama, Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo G. Sembiring, berharap program pemulihan ekonomi dan pembangunan bisa sinergis serta selaras dengan perlindungan lingkungan maupun sosial masyarakat.
Menurutnya, tahun 2021 kekhawatiran terhadap perlindungan lingkungan hidup masih tetap ada. Pasalnya, pemerintah kerap mengambil langkah bertentangan dengan aturan yang sudah ada.
“Di tahun 2020 maupun sebelumnya banyak sekali aturan yang coba diterabas (pemerintah) untuk menstimulus pemulihan ekonomi dan pembangunan. 2021 ini kekhawatirannya sama. Kami melihat jika ini terus berlanjut akan menimbulkan masalah kumulatif yang menimbulkan sengketa atau konflik yang membesar,” hemat Raynaldo.
Raynaldo menuturkan, dalam dokumen Indonesia Environmental Law Outlook 2021, pihaknya memberi masukan kepada pemerintah untuk 2021. Masukan tersebut antara lain;
- Meminta pemerintah menghentikan segala bentuk akrobat hukum. Termasuk menghentikan Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
- Kebijakan pemulihan ekonomi harus berdasarkan prinsip kehati-hatian dan bukti yang kuat untuk melindungi lingkungan hidup dan sumber daya alam.
- Pemerintah harus mengawal putusan pengadilan yang sudah baik bagi perlindungan lingkungan hidup.
- Pemerintah baik daerah, pusat, dan instansi lain jangan menghambat akses informasi lingkungan masyarakat. Pemerintahan harus terbuka harus dan harus ada komitmen tegas untuk keterbukaan informasi.
“Pemulihan ekonomi itu harus selaras dan sinergis dengan perlindungan lingkungan hidup. Artinya tidak serta merta kita bisa menempatkan mana yang lebih unggul daripada yang lain,” pungkasnya.
Baca laporan ICEL selengkapnya di sini.
Penulis: Muhammad Ma’rup
Editor: Ixora Devi