Jakarta (Greeners) – Sejak 2010, Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) telah mendanai 76 proyek mitigasi berbasis lahan, adaptasi perubahan iklim, dan energi yang tersebar di seluruh Indonesia. Direktur Lingkungan Hidup Bappenas yang juga sekretaris Majelis Wali Amanat (MWA) ICCTF, Medrilzam, mengatakan, khusus penanganan perubahan iklim ICCTF berfokus pada mitigasi berbasis lahan serta peningkatan adaptasi dan ketangguhan. Salah satu fokus area yang masih perlu diperkuat dan dikembangkan ICCTF adalah energi terbarukan.
Dalam periode 2010-2016, ICCTF telah membiayai 63 program penanganan perubahan iklim di berbagai lokasi di Indonesia dengan tiga fokus area, yaitu mitigasi berbasis lahan (37 program), energi (8 program), serta adaptasi dan ketahanan (18 program). Mitra pelaksana kegiatan-kegiatan ICCTF tersebut adalah kementerian/lembaga, LSM, dan universitas.
“Perkembangan proyek ini hampir selesai. Dari 76 proyek yang kami rencanakan sudah ada 63 proyek yang selesai dan 13 proyek sedang berjalan, yakni 5 program mitigasi untuk periode tahun 2016-2018 sedang berjalan dan 8 program lainnya sedang dalam masa persiapan implementasi program untuk periode tahun 2018-2019,” ujar Medrilzam saat konferensi pers ICCTF Day 2018 di Ruang Djunaedi Hadisumarto, Bappenas, Jakarta , Selasa (31/07/2018).
BACA JUGA: Kaltim Siapkan Strategi Pengendalian Perubahan Iklim
Pada proyek mitigasi berbasis lahan, ICCTF memberikan dana kepada 31 proyek dari 42 proyek yang sedang berjalan di seluruh Indonesia. Proyek-proyek ini terdistribusi di 12 proyek di Sumatera, 9 proyek di Kalimantan, 8 proyek di Jawa dan masing-masing 1 proyek di Nusa Tenggara Barat dan Maluku.
Proyek-proyek tersebut berkaitan dengan rehabilitasi lahan, baik lahan mineral maupun lahan gambut, pengelolaan kebakaran hutan, penguatan masyarakat lokal melalui sumber penghidupan yang lebih baik dan peningkatan kesadaran masyarakat atas dampak perubahan iklim.
“Melalui rehabilitasi lahan, 350.560 pohon telah ditanam. Selain itu, ICCTF mendanai pengembangan early warning system (EWS) untuk mengatasi kebakaran hutan. Setidaknya ada 9 lokasi yang mengembangkan prosedur cara penanganan kebakaran hutan,” ujar Medrilzam.
Pada fokus area adaptasi dan ketangguhan, ICCTF telah mendanai 11 proyek yang terdistribusi di 2 proyek di NTT, 2 proyek di NTB, 1 Proyek di Jawa Barat, 1 proyek di Jawa Tengah, 1 proyek di Yogyakarta, 1 proyek di Sulawesi Selatan, 1 proyek di Gorontalo, 1 proyek di Maluku dan 1 proyek di sepanjang pesisir selatan laut Jawa.
Proyeksi ini memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah setempat tentang cara beradaptasi atas dampak perubahan iklim, seperti petani bisa beradaptasi dengan perubahan iklim melalui metode pertanian SRI (system of rice intensification), yaitu cara bertanam yang bisa menghemat air.
BACA JUGA: Pemerintah Susun Perpres Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon
Medrilzam mengatakan bahwa 8 proyeksi di area energi terus didorong agar pada tahun 2025 target energi baru terbarukan bisa mencapai 23% yang saat ini baru mencapai 2%. Sampai saat ini pemanfaatan energi terbarukan masih sangat kecil, sehingga diperlukan usaha-usaha untuk mengembangkannya secara masif di daerah potensial.
Tantangan berikutnya adalah besarnya pendanaan yang diperlukan untuk pengembangan energi terbarukan dibanding pembangkit fosil pada umumnya. Untuk itu, diperlukan strategi perencanaan dan pembiayaan pengembangan infrastruktur energi terbarukan didukung oleh seluruh pihak yang terkait baik pemerintah, mitra pembangunan, lembaga keuangan, sektor swasta, dan juga masyarakat.
“Target khusus untuk energi baru terbarukan ialah 44 PPA (power purchase agreement) yang saat ini sedang kami prioritaskan,” ujar Medrilzam.
Medrilzam mengatakan, melalui upaya transformasi kelembagaan yang sistematis, sinergi dan koordinasi dengan seluruh elemen baik pemerintah maupun swasta, diharapkan ICCTF dapat menjadi salah satu lembaga pendanaan perubahan iklim yang diakui secara nasional maupun internasional.
Penulis: Dewi Purningsih