Jakarta (Greeners) – Keutuhan ekosistem hutan akan menjamin satwa liar hidup aman di habitatnya. Migrasi satwa liar karena hutan yang rusak tentu akan berdampak juga pada kehidupan manusia. Salah satunya penularan penyakit dari satwa ke manusia.
Oleh sebab itu pemanfaatan dan pengelolaan hutan harus mengacu pada aturan yang berlaku untuk menjamin keutuhan ekosistem. Ancaman varian virus baru bisa saja terjadi di masa depan seiring banyaknya kerusakan alam yang membuat habitat satwa liar terganggu.
Ancaman virus varian baru berpotensi terjadi di Indonesia. Virus alami pada hewan liar di Indonesia sangat mungkin bisa memunculkan varian baru bila bercampur dengan virus Covid-19. Faktor deforestasi menyebabkan ketidaknyamanan bahkan kekurangan makanan pada hewan liar. Hal ini mampu mendorong satwa liar bermigrasi ke daerah pertanian dan pemukiman.
Pakar kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo mengatakan, peluang penyebaran virus melalui migrasi hewan liar ke pemukiman warga sangat rendah. Hewan liar akan memprioritaskan bermigrasi ke tempat-tempat yang mirip atau layak huni sebagaimana habitat aslinya. Hanya sebagian kecil hewan liar yang masuk ke area pertanian atau pemukiman.
Meski demikian, ia menyebut pentingnya untuk saling memastikan ekosistem sebagaimana fungsinya sebagai habitat hewan liar. “Misalnya, ketika hutan akan dieksploitasi, apakah berstatus sebagai kawasan lindung atau konservasi,” katanya kepada Greeners, Selasa (8/3).
Lebih parahnya lagi, sambung Bambang bila kemudian eksploitasi hutan dilakukan besar-besaran oleh para pemilik izin. Hal ini akan mengancam keberadaan hewan liar. “Terlebih bila dilakukan semaunya dengan atas nama kepentingan ekonomi,” tegasnya.
Bambang mengingatkan, agar semua lapisan masyarakat, termasuk stakeholder terkait saling mengingatkan pentingnya menjaga keutuhan ekosistem. “Karena pada akhirnya ekosistem yang balance itu perlu. Di sinilah perlunya sinergi semua pihak agar tidak terjadi penularan penyakit atau virus ke manusia,” imbuhnya.
Indonesia Harus Siaga Antisipasi Penyakit Menular Baru
Sementara Staf Fungsional Medik Veteriner Ahli Utama Kementerian Pertanian (Kementan) Fadjar Sumping menyatakan, upaya surveilans secara berkelanjutan dan karakterisasi genetik serta antigenetis terus peneliti lakukan.
Tujuannya untuk memonitoring apabila terjadi mutasi virus pada satwa liar juga pada hewan domestik dan manusia. “Surveilans triangulate itu melibatkan tiga sektor, yaitu manusia, hewan dan lingkungan satwa liar sesuai pendekatan one health,” ungkapnya.
Saat ini, lanjutnya Indonesia sangat perlu meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi penyakit-penyakit menular baru. Hal ini bisa peneliti garap melalui kolaborasi antara sektor kesehatan, manusia, hewan dan lingkungan atau pendekatan one health.
Selain itu, upaya pengelolaan konservasi habitat asli satwa liar juga sangat perlu. Caranya dengan melakukan pengaturan, pembatasan atau pelarangan perburuan pada hewan liar. Sementara, upaya pencegahan pada hewan domestik atau ternak dengan memastikan penerapan kompartementalisasi peternakan bebas penyakit hewan menular dan zoonosis.
“Termasuk penerapan biosecurity dan biosafety di pasar unggas hidup (live bird market),” imbuhnya.
Fadjar mengungkap, tingkat sensitivitas deteksi dini masih menjadi tantangan dalam melihat potensi ancaman penularan dari hewan liar maupun ternak terhadap manusia. Deteksi dini membutuhkan surveilans yang terprogram dengan target hewan, wilayah, jumlah sampel, serta jenis uji sehingga membutuhkan fasilitas dan anggaran yang memadai.
“Apabila indikator ancaman sudah terlihat lebih nyata barulah bisa lebih mudah diperkirakan dari data yang terbatas itu,” ucapnya.
Namun, sambung dia apabila kasus sudah mulai tampak seperti gunung es maka penyakit sudah menyebar terlebih dahulu dengan level ancaman yang sangat tinggi.
Lebih jauh, ia menyatakan bahwa Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan beberapa tahun sebelum terjadi Covid-19 telah melihat adanya potensi emerging diseases atau new emerging diseases. Akan tetapi, virus corona yang sudah pernah teridentifikasi dari jenis yang berbeda dengan Covid-19.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin