Jakarta (Greeners) – Keterbukaan informasi pengelolaan hutan dan lahan kian lama semakin dipertanyakan. Pemerintah dianggap tak serius membuka informasi sumber daya alam di Indonesia. Selagi hutan hilang setiap menit, perusahaan dan industri justru makin leluasa mengeruknya.
Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat di tahun 2017, misalnya, hutan seluas empat kali lapangan sepak bola lenyap sebab maraknya penebangan di dalam dan di luar kawasan hutan. Menurut FWI terdapat tiga istilah penguasaan hutan yakni Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), dan Hak Guna Usaha( HGU) untuk perkebunan kelapa sawit dan teh. Perusahaan yang memiliki HGU merupakan penguasa dalam pengelolaan lahan hutan.
Sejak 2013, FWI mendorong keterbukaan informasi di sektor kehutanan. Organisasi ini melihat terdapat ketimpangan penguasaan lahan yang masih terjadi hingga kini. Kesenjangan tersebut menyebabkan tumpang tindih antara izin perusahaan dengan kawasan hutan negara dan masyarakat.
Baca juga: Forest Watch Indonesia: Setiap Tahun Indonesia Kehilangan Hutan Alam 1,4 juta Ha
“Kita melihat problem-problem ini yang seharusnya diselesaikan. Data mengenai luas izin perusahaan dari kehutanan maupun HGU tersebut harus dibuka di publik. Kita mengumpulkan (data) tumpang tindih sangat besar jumlahnya. Data HPH sekitar 18 juta hektar dimiliki 256 perusahaan, HTI sekitar 10,9 juta hektar, sektor tambang seluas 28 juta hektar, dan lahan sawit sebesar 12 juta hektar,” ucap Staf Kampanye dan Advokasi Kebijakan FWI, Agung Ady Setiyawan, di Bogor, Jawa Barat, Kamis minggu lalu (22/11).
Agung mengatakan data tersebut membuktikan bahwa laju deforestasi meningkat di sejumlah daerah di Indonesia. Setelah hutan di wilayah Sumatera dan Kalimantan hampir habis, daerah di Timur kini menjadi incaran selanjutnya. Ironinya reforma agraria dan hutan adat, kata Agung, masih sangat jomplang dibanding konsesi.
Baca juga: Keterbukaan Informasi Berkontribusi Menekan Laju Deforestasi
Keterbukaan informasi tata kelola sumber daya alam menjadi penting karena faktor kerusakan alam menyebabkan masalah di sektor hutan. “Dengan adanya keterbukaan informasi minimal potensi kesalahan tata kelola bisa termonitori. Pentingnya keterbukaan informasi agar publik juga ikut memonitoring tata kelola sumber daya alam. Karena ini merupakan hak yang diberikan UUD kepada publik untuk mengontrol jalannya roda pemerintahan,” ujar Asep Komarudin, Juru Kampanye Greenpeace.
Menurut Asep keterbukaan dan transparansi informasi yang banyak diinisasi dalam program pemerintah harus benar-benar diimplementasikan. Karena pada praktiknya hal tersebut belum berjalan. Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui seberapa luas wilayah dan batas desa mereka. Contohnya kasus di Kalimantan Timur, wilayah tempat tinggal dan hak masyarakat dirampas sehingga kearifan lokal masyarakat dalam mengelola hutan secara turun temurun hilang.
Penulis: Ridho Pambudi
Editor: Devi Anggar Oktaviani