Jakarta (Greeners) – Menyumbang 20% oksigen untuk dunia, Hutan Amazon Brazil dalam tiga pekan terakhir mengalami kebakaran hutan dan lahan yang luar biasa (karhutla). Menurut The National Institute for Space Research, Brasil telah mengalami lebih dari 72.000 kebakaran tahun ini, meningkat 84% pada periode yang sama pada tahun 2018 di mana lebih dari setengahnya berada di kawasan Amazon.
Kejadian karhutla di Hutan Amazon ini dianggap menjadi kejadian luar biasa karena peningkatan kebakaran yang signifikan. Banyak publik figur dan masyarakat yang menyayangkan terjadinya kebakaran ini.
Sebelumnya, kepala negara Brazil Jair Bolsonaro memberikan tanggapannya atas terjadinya karhutla di Hutan Amazon. Mengutip dari The Guardian, Presiden Brasil, Jair Bolsonaro, menuduh kelompok-kelompok lingkungan telah membakar Hutan Amazon ketika Ia mencoba untuk menangkis kritik internasional yang berkembang atas kegagalannya melindungi Amazon.
Ada beberapa spekulasi penyebab kebakaran hutan dan lahan ini yang mencuat ke publik, salah satunya adalah para petani Brazil yang merasa berani untuk membuka lahan pertanian dan peternakan karena pernyataan pemerintah baru Brasil yang ingin membuka wilayah tersebut untuk kegiatan ekonomi.
BACA JUGA : Pemerintah Stop Beri Izin Baru Hutan Primer dan Lahan Gambut
Yuyun Harmono, selaku Manajer Manajer Kampanye Keadilan Iklim dan Isu Global Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), memberikan pendapatnya bahwa penyebab dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Hutan Amazon ini diakibatkan oleh beberapa hal.
Pertama, memang musim kemarau yang lebih panjang. Kedua, ada faktor manusia terutama korporasi. Ketiga, policy pemerintah Brazil yang saat ini tidak pro terhadap lingkungan hidup.
“Kalau Jair Bolsonaro itu dari sayap kanan, lingkungan dia militer, ketika dia terpilih ya dia bilang Amazon ini untuk kepentingan ekonomi dan kedaulatan Brazil dan tidak membicarakan soal lingkungan hidup. Jadi Amazon yang dulu dilindungi saat ini dibuka untuk investasi terutama perkebunan, peternakan, dan pertambangan,” ujar Yuyun saat dihubungi oleh Greeners, Sabtu (25/08/2019).
Lanjutnya, karena Jair Bolsonaro ini tidak memiliki sense pro terhadap lingkungan sehingga reaksi tindakannya terhdap karhulta ini tidak sebagus Presiden Indonesia, Jokowi. Ketika melihat karhutla terjadi ada tindakan cepat dan koordinasi antara Kementerian dan Lembaga terkait, TNI, Polri, dan Pemda berjalan.
“Karhutla di Amazon ini intensitasnya sudah naik hingga 80% dari tahun lalu, artinya sudah berlangsung selama 3 minggu terakhir ini dan tidak ada reaksi apa-apa dari pemerintah Brazil. Banyak orang menyebut jika laju deforestasi di Brazil sudah sangat luar biasa besar dibandingkan dengan Indonesia yang menurun deforestasinya sejak 5-10 tahun lalu,” jelas Yuyun.
Yuyun mengatakan jika kebakaran hutan dan lahan di Hutan Amazon ini akan berdampak pada masyarakat adat yang terpapar langsung, adanya kenaikan gas rumah kaca, deforestasi yang mengancam target global terutama dari sektor lahan.
Hal itu pun juga dibenarkan oleh Joeni Setijo Rahajoe selaku Plt. Kepala Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyampaikan bahwa hutan amazon memiliki luas 6,7 juta hektar yang sebagian besar ditutupi oleh hutan tropis lembab yang terdiri dari berbagai tipe ekosistem. Mempunyai biodiversitas sangat tinggi, di mana salah satu negara yang berada di Amazon Biome Brazil yang keanekaragaman hayatinya tertinggi di dunia.
“Karhutla akan menyebabkan kehilangan ekosistem dan biodiversitasnya, tergantung pada tingkat kebakarannya, bila kebakarannya pada level yang sangat besar dan meluas maka akan berdampak kepada berkurang dan rusaknya ekosistem,” ujar Joeni kepada Greeners.
BACA JUGA : BMKG Serukan Waspada Terhadap Ancaman Bencana Kekeringan
Jeoni mengatakan Amazon mengandung 90-140 miliar metrik ton karbon, pelepasannya (karena terbakar) walaupun sebagian, akan mempercepat pemanasan global secara signifikan. Saat ini, konversi lahan dan deforestasi di Amazon melepaskan hingga 0,5 miliar metrik ton karbon per tahun, tidak termasuk emisi dari kebakaran hutan, sehingga menjadikan Amazon faktor penting dalam mengatur iklim global (Nepstad et al 2008).
“Asap yang mengandung CO, NO, dan menyebabkan sesak napas dan alergi. Mengingat amazon itu menyimpan karbon yang berbentuk biomasa sangat besar,” ujarnya.
Jeoni melanjutkan, pemulihan untuk hutan amazon ini akan menyita waktu dan biaya yang besar karena untuk memulihkan sebuah ekosistem seperti semula tidaklah mudah. Bumi terbentuk jutaan tahun, sedangkan hutan terbentuk bisa ratusan tahun, tergantung suksesi alaminya.
“Bila sumber-sumber biji masih bagus maka menjadi semula butuh ratusan tahun. Itupun belum tentu komposisi dan struktur pohonnya sama persis untuk mendekati menjadi prestine forest,” pungkasnya.
Penulis: Dewi Purningsih