Malang (Greeners) – Organisasi Protection of Forest & Fauna (Profauna) mencatat, angka perdagangan satwa liar di Indonesia tahun 2016 meningkat hingga 35 persen dibandingkan tahun 2015. Dari 67 kasus perdagangan satwa liar yang dimuat di media massa pada tahun 2015, meningkat hingga 90 kasus hingga akhir 2016.
Pendiri Profauna Indonesia, Rosek Nursahid, menyatakan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menempuh banyak cara untuk mengoptimalkan upaya perlindungan kekayaan hayati Indonesia, termasuk dengan mereformasi lembaganya. Namun, upaya KLHK tersebut tidak dilakukan di lembaga kehakiman. “Vonis-vonis yang dijatuhkan pihak pengadilan terhadap para pelaku kejahatan satwa liar selama tahun 2016 sungguh tidak setimpal,” ujarnya, Rabu (11/01/2017).
Selama tahun 2016, kata Rosek, setidaknya ada 12 vonis yang dijatuhkan terhadap pelaku perdagangan dan penyelundupan satwa liar. Di antara vonis yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan satwa liar adalah dalam kasus perdagangan satwa yang diungkap aparat di Singkawang, Kalimantan Barat. Terpidana bernama Aming hanya dihukum 9 bulan dan 10 hari penjara serta denda Rp 50 juta atas ulahnya.
BACA JUGA: Perdagangan Ilegal, Perlindungan Tumbuhan dan Satwa Liar Lemah
Ia juga menyatakan bahwa Profauna prihatin terhadap pemberitaan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, dimana majelis hakim menjatuhkan vonis 2 tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta, subsider 1 bulan penjara terhadap terdakwa penyelundupan 4.878 kilogram sirip hiu bernama Soeparli Djoko. Soeparli tertangkap di Surabaya pada bulan Februari 2016 lalu.
“Dalam pemberitaan di media massa, Soeparli dikabarkan justru berjoget setelah mendengar amar putusan hakim. Ini mempermalukan dan mengolok-olok sistem peradilan negara kita,” ujar Rosek dengan nada geram.
Ia menilai, jika para hakim terus-menerus menjatuhkan hukuman yang rendah kepada para pelaku perdagangan satwa liar, maka tidak akan ada efek jera bagi para pelaku kejahatan perdagangan satwa liar.
Menurutnya, perlu sinergi dan kerja keras yang melibatkan banyak pihak, termasuk masyarakat umum untuk mendorong gerakan-gerakan dalam melestarikan hutan dan satwa liar. “Agar Indonesia layak disebut negara mega-biodiversity yang serius menjaga kelestarian keragaman hayati,” imbuhnya.
BACA JUGA: Basis Data Lemah, Indonesia Tidak Maksimal Sampaikan Aichi Target pada COP CBD 13
Dalam rilis yang diterima Greeners, juru kampanye Profauna, Swasti Prawidya Mukti, menyatakan, ada perbedaan tren kasus-kasus perdagangan satwa liar antara tahun 2015 dan 2016. Menurutnya, pada tahun 2015, beberapa kasus perdagangan dan penyelundupan satwa liar volumenya cenderung banyak.
Ia menyontohkan terungkapnya upaya penyelundupan 96 ekor trenggiling hidup, 5 ribu kilogram daging trenggiling beku, dan 77 kilogram sisik trenggiling di Medan pada bulan April 2015. “Ada juga penyelundupan 1 kontainer berisi 40 feet cangkang kerang kepala kambing senilai Rp 20,422 miliar, pada Agustus 2015 di Tanjung Priok, Jakarta Utara,” kata Swasti.
Tingginya angka perdagangan satwa liar ini menunjukkan belum adanya efek jera bagi para pelaku kejahatan satwa liar di Indonesia.
“Dari berbagai kasus yang ada, para pelaku berada di level pengepul tingkat atas yang berjaringan luas, bukan lagi pedagang spesialis jenis satwa tertentu yang berada di level bawah dan berhubungan langsung dengan pemburu,” ungkap Swasti.
Penulis: HI/G17