Jakarta (Greeners) – Temuan lubang ozon di atas wilayah tropis oleh ilmuwan dari University of Waterloo di Ontario, Kanada, Qing-Bin Lu menimbulkan kekhawatiran global. Dari segi ukuran, perkiraannya lubang tersebut tujuh kali lebih besar dibanding lubang sejenis di Antartika dan menganga sepanjang musim.
Lu mempublikasikan temuannya itu dalam jurnal American Institute of Physics (AIP) Advances pada Juli lalu. Keberadaan lubang ozon di wilayah tropis itu jadi masalah besar karena tempat itu merupakan rumah dari setengah populasi dunia. Sebagai wilayah tropis, studi ini memicu kekhawatiran bagi wilayah Indonesia.
Menanggapi studi tersebut, Kasubdit Pengendalian Bahan Perusak Ozon, Direktorat Mitigasi Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Zulhasni menyatakan, meski telah termuat di jurnal internasional, tapi Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) telah membantah dan mempertanyakan analisis dan hasil studi tersebut.
“Jadi ini belum menjadi mainstream pendapat ahli di bidang atmosfer,” katanya kepada Greeners, Kamis (15/9).
Lubang ozon yang terbentuk di atas wilayah tropis karena sinar UV matahari paling kuat sepanjang tahun. Akan tetapi, sambung dia ozon lebih banyak ahli temukan di luar daerah tropis, di garis lintang yang lebih tinggi. Hal ini sebagai akibat sirkulasi atmosfer yang lambat yang memindahkan ozon dari daerah tropis ke garis lintang tengah dan polar.
Kendati demikian, ia memperingatkan ozon di atas wilayah tropis yang berkorelasi dengan tingginya kondisi indeks UV di Indonesia. “Ozon di atas tropis memang selalu tipis. Hal ini berkorelasi dengan sangat tingginya indeks UV di Indonesia bisa mencapai skor 11 (ekstrem) saat siang hari,” paparnya.
Menurutnya, lubang ozon hanya ada di kutub selatan. Lubang ozon di kutub selatan terjadi karena temperatur kutub yang sangat rendah, kondisi isolasi dan terbentuknya Polar Stratospheric Clouds (PSC).
Dampak Lubang Ozon Terhadap Intensitas Radiasi Matahari
Ia mengungkap, dengan adanya lubang ozon maka intensitas radiasi UV-B yang masuk ke bumi semakin besar dan akan berdampak buruk bagi kehidupan di bumi. Misalnya, menyebabkan katarak dan kanker kulit hingga daya tahan tubuh.
“Sementara untuk mitigasinya yakni mencegah pelepasan bahan perusak ozon di atmosfer seperti membuang bahan pendingin dari AC dan lemari pendingin yang produksinya sebelum tahun 2015 (freon jenis CFC) dan HCFC,” ujar dia.
Ia mendorong agar masyarakat yang memiliki mesin pendingin jenis klorofluorokarbon (CFC) dan hidroklorofluorokarbon (HCFC) agar freonnya tak dilepas dan dibuang. Tetapi didaur ulang dan digunakan kembali pada sistem pendingin yang spesifikasinya masih berbasis HCFC.
Saat ini, Indonesia tengah berkomitmen berkontribusi dalam proses meratifikasi Amandemen Kigali untuk pengurangan hidrofluorokarbon (HFC). “Setelah ratifikasi, Indonesia akan dapat memulai pengendalian konsumsi HFC dengan menyiapkan skenario pengurangan di berbagai sektor untuk memenuhi jadwal pengurangan HFC yang telah ditetapkan,” imbuhnya.
Lubang Ozon Berdampak Buruk pada Kesehatan Manusia
Sementara itu Koordinator Bidang Analis Perubahan Iklim, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Kadarsah mengungkapkan, lubang ozon di daerah tropis terbuka sejak tahun 1980-an dan dalam beberapa tahun terakhir terbuka sepanjang tahun. Setidaknya lubang tersebut telah kehilangan 25 % lebih besar ozonnya dibanding daerah sekitarnya.
Ia menyebut, lubang ozon tak hanya berdampak buruk pada kesehatan manusia, tapi juga mengganggu ekosistem tumbuhan. “Termasuk mengakibatkan peningkatan UV-B yang mengganggu rantai makanan baik kehidupan di darat maupun laut. Mengubah alur pertukaran karbondioksida antara atmosfer dan biosfer sehingga mengancam keanekaragaman hayati dan ekosistem laut,” kata Kadarsah.
Ia juga menegaskan, kondisi terkini penipisan lapisan ozon di dunia makin meluas. Penyebab menipisnya ozon yaitu peningkatan penggunaan Bahan Perusak Ozon (BPO), seperti klorofluorokarbon (CFC) dan hidroklorofluorokarbon (HCFC).
Dalam peringatan Hari Ozon Internasional pada 16 September, Kadarsah mengingatkan masyarakat untuk mengurangi penggunaan bahan perusak ozon (BPO). Bahan tersebut seperti klorofluorokarbon (CFC), hidroklorofluorokarbon (HCFC, freon) dan methyl Bromide. Bahan-bahan tersebut juga digunakan dalam pendingin ruangan, hair dryer serta bahan pembasmi hama tanaman.
Selain itu, ia juga mengingatkan agar jika berada di luar ruangan maka sebaiknya mengenakan alat pelindung agar tidak terkena langsung paparan sinar matahari.
Belum Ditemukan di Indonesia
Peneliti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ninong Komala menyatakan, lubang ozon merujuk pada nilai total ozon di suatu tempat yang lebih rendah daripada 220 Dopson Unit (NASA).
Berdasarkan pengamatan ozon di tropis khususnya di Indonesia dari satelit AURA dengan sensor Ozone Monitoring Instrument (OMI) dari tahun 2004 sampai saat ini menunjukkan nilai antara 225 DU sampai dengan 280 DU. Itu artinya tak ada lubang ozon di Indonesia. “Di wilayah Indonesia tidak ada nilai ozon yang di bawah 220 DU,” ucapnya.
Sementara saat ini hanya ada lubang ozon Antartika. Lubang ozon ini adalah penipisan ozon di stratosfer di atas Antartika setiap musim semi. Kerusakan ini terjadi karena adanya klorin dan bromin dari zat perusak ozon di stratosfer dan kondisi meteorologi tertentu di Antartika.
Dalam peringatan Hari Ozon Internasional tahun 2022 dengan tema ‘Ozon untuk Kehidupan’, Ninong menyebut pentingnya ozon terhadap generasi mendatang.
“Dalam rangka mendorong pembangunan berkelanjutan mengingatkan kepada kita bahwa ozon tidak hanya penting bagi kehidupan di bumi. Tetapi kita harus terus melindungi lapisan ozon demi generasi mendatang,” tandasnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin