Jakarta (Greeners) – Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN) kerap dirayakan pada 5 November 2023. Momentum ini menjadi pengingat bahwa Indonesia memiliki kekayaan flora dan satwa. Beragamnya spesies lokal, khususnya flora yang memiliki keindahan, perlu mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat Indonesia.
Pada peringatan HCPSN tahun ini, katak terbang wallace (Rhacophorus nigropalmatus) dan Hanguana sitinurbayae (hanguanaceae) menjadi maskot. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengumumkan hal itu di Instagram resminya.
Tema HCPSN tahun 2023 adalah “Puspa Satwa Hidupan Liar Indonesia”. Tema tersebut untuk mengingatkan masyarakat agar melindungi puspa dan satwa liar di Indonesia. Sebab, kini ada berbagai ancaman terhadap keragaman hayati. Di antaranya deforestasi, perburuan ilegal, dan perubahan iklim.
BACA JUGA: Bulbophyllum wiratnoi, Anggrek Endemik dari Papua Barat
Penemu flora Hanguana sitinurbayae, Agusti Randi menyatakan Indonesia sebagai pemegang gelar negara Mega biodiversity tidaklah keliru. Negara ini kaya hayati, termasuk flora. Spesies-spesies baru pun terus muncul seiring waktu.
“Spesies-spesies lokal sangat perlu mendapat perhatian yang lebih ketimbang spesies introduksi yang berasal dari luar negeri. Hal ini secara tidak terasa kita terapkan dengan terlalu bangga terhadap spesies luar negeri,” ucap Randi kepada Greeners, Rabu (8/11).
Spesies Asing Mendominasi Tanaman
Randi menambahkan, kini banyak spesies asing yang mendominasi tanaman. Di antaranya pohon tabebuya, mahoni, trembesi, ketapang kencana, hingga flamboyan yang berasal dari Amerika dan Afrika. Pohon-pohon itu juga ada di pinggir jalan, halaman perkantoran pemerintahan, taman, dan lokasi lainnya.
“Praktik ini sebenarnya juga mencoreng nama Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan hayati tertinggi di dunia. Spesies-spesies lokal sebenarnya banyak yang lebih estetis dengan keindahan yang unik pada tiap spesiesnya, namun hanya perlu perhatian dari para pihak,” imbuh Randi.
Pada HCPSN 2023 ini, Randi berharap agar masyarakat sadar bahwa Indonesia berada pada level yang sangat tinggi dalam urusan kekayaan flora.
“Segala hal yang kita miliki, termasuk memberikan perhatian bagi spesies-spesies lokal dan para peneliti lokal yang berjuang. Dengan caranya sendiri, mereka mengharumkan nama bangsa dalam dunia ilmu pengetahuan,” ujarnya.
Hanguana Sitinurbayae Jauh dari Kepunahan
Spesies Hanguana sitinurbayae saat ini masih jauh dari kepunahan. Sebab, lanjut Randi, jenis flora tersebut berada di lokasi yang pemerintah lindungi secara penuh. Selain itu, akses dan medan yang sulit telah memperkuat populasinya di alam akan aman dari kerusakan.
Spesies ini pertama kali ditemukan ketika ekspedisi saintifik di Cagar Alam Gunung Nyiut Penrissen Kalimantan Barat pada Agustus 2022. Ekspedisi oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, pertama kali ditemukan pada tanggal 17 Agustus 2022. Penemuan itu bertepatan dengan hari kemerdekaan RI.
“Setelah dokumentasi dan spesimen dikoleksi dengan baik, perlu waktu beberapa bulan untuk menelaah spesies ini lebih dalam dan berkonsultasi dengan beberapa pakar. Setelah sangat yakin bahwa spesies ini adalah spesies baru, jurnal ilmiahnya kami tulis untuk mendeskripsikan dan mempublikasikannya,” tambah Randi.
Randi juga memerlukan waktu hingga satu tahun penuh. Sehingga, jurnalnya terpublikasi secara resmi dan nama Hanguana sitinurbayae diterima dalam ilmu pengetahuan dunia sebagai spesies tumbuhan baru.
Berikan Dampak Baik bagi Dunia Konservasi
Penemuan spesies baru pun telah berdampak baik terhadap dunia konservasi. Sebab, semakin banyak yang harus dilestarikan hingga dimanfaatkan secara bijak. Dengan demikian, upaya perlindungan terhadap habitat dan populasinya perlu mendapat perhatian.
Bersama BKSDA, Balai Taman Nasional, dan KLHK selaku pemangku kawasan, para peneliti pun akan terus berupaya mengungkap keanekaragaman hayati lainnya. Hal ini selaras dengan penemuan spesies baru.
BACA JUGA: Penemuan Spesies Baru Dorong Peneliti Gali Keanekaragaman Hayati
“Ini juga berdampak bagi kedaulatan bangsa. Sebab, ada kerja sama yang baik antara pemangku kawasan bersama para peneliti lokal. Tidak seperti di masa lampau, yang didominasi oleh peneliti-peneliti luar dalam penemuan-penemuan spesies baru di Indonesia,” ujar Randi.
Selain itu, lanjutnya, perlu peningkatan kerja sama lainnya untuk kawasan-kawasan konservasi lain di seluruh Indonesia. Hal itu dengan cara melibatkan para peneliti lokal. Menurut Randi, saat ini masih banyak spesies tumbuhan baru menunggu untuk ditemukan.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia