Jakarta (Greeners) – Memasuki musim penghujan, bencana banjir yang kerap kali terjadi mampu memicu menularnya berbagai macam penyakit. Salah satunya leptospirosis.
Air, tanah hingga lumpur yang terkontaminasi kotoran hewan terinfeksi menularkan penyakit tersebut. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (Jateng) mencatat terdapat 389 kasus leptospirosis sepanjang tahun 2022, sebanyak 55 penderitanya meninggal dunia. Penyakit ini paling banyak ada di daerah Klaten.
Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menyatakan, leptospirosis merupakan penyakit zoonosis berasal dari bakteri Leptospira interrogans yang hewan tularkan ke manusia.
Kasus leptospirosis di Jawa Tengah hendaknya menjadi kewaspadaan di semua wilayah Indonesia. “Terutama karena penyakit ini kerap terjadi di wilayah tropis seperti di Indonesia,” katanya kepada Greeners, Jumat (28/10).
Tikus Reservoir Leptospirosis
Tikus, babi dan mamalis sejenis menjadi reservoir penyakit leptospirosis melalui kotorannya. Kotoran ini mencemari makanan, air, hingga tanah.
“Manusia yang kontak dengan cemaran itu akan terinfeksi. Terlebih dengan sanitasi yang buruk dan banjir. Itulah kenapa saat banjir seperti ini lebih banyak kasus penyakit ini,” jelas dia.
Penderita penyakit ini memiliki gejala mirip dengan penyakit endemik lain di Indonesia, seperti demam berdarah. Misalnya, mulai dari demam, nyeri otot, batuk, gangguan pencernaan hingga keluarnya bintik merah.
Masalahnya, terdapat tahap lanjutan dari penyakit leptospirosis yang mengancam organ-organ penting sehingga berdampak fatal. “Termasuk gagal ginjal akut, kesulitan buang air kecil dan berujung pada kematian,” ungkapnya.
Ia menyebut, tingkat kematian atau fatalitas penyakit leptospirosis lebih tinggi daripada demam berdarah. Jika demam berdarah hanya sekitar dua hingga tiga persen maka leptospirosis bisa mencapai 50 persen.
Jangan sampai, sambung dia penanganan penyakit ini dipandang remeh, terutama pada kelompok rawan seperti anak-anak, hingga lansia penderita komorbid.
Perhatikan Sanitasi Lingkungan
Dicky menekankan pentingnya sanitasi lingkungan yang baik untuk pemulihan gejala penderita. Selain itu, di saat musim penghujan dan banjir, petugas kesehatan harus memiliki kecurigaan terhadap penyakit ini.
Dicky menyebut, penyakit ini jadi pengingat pentingnya pendekatan one health yang menekankan hubungan manusia, hewan dan lingkungannya.
“Tantangan mengatasi penyakit ini, utamanya di negara berkembang seperti Indonesia cara untuk memastikan sanitasi lingkungan. Di samping itu perilaku masyarakat yang tidak higienis, penyediaan air bersih hingga kesehatan hewan yang buruk,” paparnya.
Jika tidak ada perbaikan di berbagai aspek tersebut maka penyakit leptospirosis ini bisa mewabah di Indonesia.
“Ini harus menjadi concern pemerintah karena untuk mengatasinya tidak bisa seperti kasus pemadam kebakaran. Tapi permasalahan lingkungan, air, tanah belum teratasi sehingga penyakit-penyakit ini akan timbul dan menjadi masalah terutama saat banjir,” tandasnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin