Jakarta (Greeners) – Pada peringatan Hari Tani Nasional (HTN) 2019, sebanyak 4.000 petani melakukan aksi bersatu melawan perampasan tanah dan menuntut Presiden Joko Widodo untuk menjalankan reforma agraria demi keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Aksi ini bertujuan untuk bertemu dengan Presiden dan mengajukan tuntutan, seperti penolakan RUU Pertanahan, menjalankan Reforma Agraria, menghentikan kriminalisasi dan diskriminasi terhadap petani.
Aksi ini pun diterima oleh Presiden Jokowi dengan melakukan audiensi bersama Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) serta Serikat Petani yang berasal dari Pasundan, Cilacap, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Bali.
Dewi Kartika, Koordinator Umum HTN 2019 sekaligus Sekretaris Jenderal Komite Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, para petani kembali menagih janji negara untuk menyelamatkan rakyat, mengingat saat ini pembangunan ekonomi dan pengalokasian sumber-sumber agraria lebih diprioritaskan untuk investasi skala besar, kelompok korporasi dan elit politik.
BACA JUGA : RUU Perkelapasawitan Dinilai Melanggar Hak Asasi Manusia atas Petani Sawit
“Kami bertemu dengan Pak Jokowi langsung, kita sampaikan bahwa reforma agraria yang dijanjikan di Nawa Cita dan RPJMN tentang target redistribusi tanah sebesar 9 juta ha, 5 tahun ini tidak berjalan artinya macet,” ujar Dewi saat melakukan konferensi pers di Monas, Selasa (24/09/2019).
Mendengar hal tersebut, Dewi mengatakan jika Pak Jokowi langsung menelfon Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya untuk mengkonfirmasi selama lima tahun ini tidak ada realisasi redistribusi tanah yang dijanjikan oleh pemerintah.
“Langsung cek ke Menteri Siti Nurbaya, apakah betul 5 tahun benar-benar kosong. Setelah menelfon, sepertinya diketahui Pak Jokowi baru SK rencana belum benar-benar direalisasikan, jadi belum ada sejengkal tanah pun dari target 4,1 juta di retribusikan kepada petani,” jelas Dewi.
Selain itu, masih dalam rangkaian Hari Tani Nasional, Serikat Petani meminta Badan Pelaksana Reforma Agraria harus dipimpin oleh Presiden Jokowi secara langsung, tidak bisa dipegang oleh para menteri-menteri karena akan tuding dan melempar tanggung jawab. “Untuk tuntutan tersebut, Pak Jokowi pun setuju untuk ambil alih kepimpinan,” ujarnya.
Sejak era Orde Baru hingga reformasi hari ini, krisis agraria tetap menjadi wajah buruk bangsa. Masalah agraria selalu diperlakukan sebagai masalah pinggiran yang kerap digunakan sebagai lip service politik, tetapi minus realisasi.
BACA JUGA : Karhutla Di Indonesia, Lebih Dari 300 Ribu Hektar Lahan Terbakar
Menurut data KPA, tercatat, sepanjang 5 tahun saja (2014-2019) terjadi kejadian konflik agraria, sebanyak 2.243 kasus, mencakup 5,8 juta ha wilayah konflik di seluruh provinsi di Indonesia. Konflik ini terjadi antara masyarakat utamanya petani, masyarakat adat, nelayan, atau warga miskin dengan kelompok badan usaha perkebunan, kehutanan, pertambangan, properti/real estate, tentara dan negara.
Konflik agraria tersebut mengakibatkan jatuhnya banyak korban, 1.236 orang dikriminalisasi, 656 orang dianiaya, 68 tertembak, bahkan 60 nyawa melayang di wilayah konflik agraria. Dalam konflik agraria ini, perempuan dan anak-anak turut menjadi korban, akibat kekerasan dalam penanganan konflik di lapangan.
Dewi mengatakan, bahwa tuntutan para petani kepada Presiden intinya harus menjalankan kerangka reforma agraria sejalan dengan konstitusi pasal 33 ayat 3, UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, dan spirit bahwa tanah milik masyarakat kecil, tidak ada penindasan terhadap para petani, tanah bukan saja sebuah komoditas korporasi sehingga tidak terjadi eksploitasi berlebihan.
Salah satu petani yang berasal dari Garut, Pak Eli yang memiliki tanah 500 meter untuk berkebun sayur-mayur mengatakan aksi ini ia lakukan untuk kebaikan para petani. “Saya ikut aksi di sini, mau yang terbaik aja untuk para petani.” ujar Pak Eli.
Penulis: Dewi Purningsih