Hari Pangan Sedunia: Maggot dapat Dukung Ketahanan Pangan

Reading time: 2 menit
Maggot sebagai pakan ternak dapat mendukung ketahanan pangan. Foto: Freepik
Maggot sebagai pakan ternak dapat mendukung ketahanan pangan. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober 2024 menyoroti pentingnya ketahanan pangan bagi masyarakat. Maggot atau Black Soldier Fly (BSF) berpotensi besar dalam mendukung ketahanan pangan dengan meningkatkan ketersediaan dan kualitas makanan sebagai sumber protein berkelanjutan.

Menurut data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), total sampah di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 56 juta ton. Sekitar 39,87 persennya adalah sampah organik. Potensi sampah organik ini bisa mencapai antara 20 hingga 25 juta ton per tahun. Padahal, sampah tersebut berpotensi menjadi pakan maggot.

Direktur PT Maggot Indonesia Lestari, Markus Susanto, menyatakan bahwa maggot dapat mengubah sampah organik menjadi pupuk kompos dan pakan ternak kaya protein. Hasil pupuk dan pakan ternak itu bisa mendukung ketahanan pangan.

“Maggot bukan hanya membantu mengatasi masalah sampah organik, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan di Indonesia,” ucap Markus.

BACA JUGA: Maglor, Inovasi Pakan Ternak dari Maggot BSF dan Daun Kelor

PT Maggot Indonesia Lestari juga telah mengembangkan peternakan ayam dengan memberikan pakan maggot. Hasil riset menunjukkan bahwa hingga 50 persen pakan konsentrat (pakan ternak kaya nutrisi dalam volume kecil) dapat tergantikan oleh maggot. Dengan pakan ini, telur ayam akan memiliki kualitas tinggi, termasuk telur ayam omega 3.

Selain itu, kualitas daging ayam juga meningkat dan waktu panen menjadi lebih cepat, sekitar enam hingga tujuh hari lebih awal dibandingkan pakan konsentrat biasa. Ayam yang makan maggot menunjukkan kesehatan yang lebih baik, dengan produktivitas ayam petelur yang dapat bertahan hingga 80-100 minggu, dibandingkan dengan biasanya hanya 55-60 minggu.

Maggot Bantu Kurangi Emisi

Markus menambahkan, pemerintahan baru juga semakin memperhatikan isu karbon dan pengurangan emisi. Sampah organik menjadi salah satu penyumbang yang cukup besar terhadap emisi karbon.

Namun, dengan mengelola satu ton sampah organik menggunakan maggot, emisi karbon dapat berkurang sekitar 55 hingga 57 persen. Artinya, pengurangan karbondioksida (CO2) yang dapat tercapai juga cukup signifikan.

“Dengan cara ini, kita tidak hanya mengatasi masalah stunting dan ketahanan pangan, tetapi juga berkontribusi pada pengurangan emisi karbon,” ucap Markus.

Mengurangi Ketergantungan Impor

Direktur Penanganan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Novrizal Tahar mengatakan saat ini industri pakan ternak dan ikan di Indonesia mengimpor sekitar 800 ribu ton protein setiap tahunnya. Protein tersebut terdiri atas tepung jeroan dan bungkil kedelai.

Menurut Novrizal, apabila industri pengolahan sampah organik dengan teknologi maggot dapat berkembang dengan baik, maggot dapat menjadi komponen protein yang selama ini diimpor. Hal ini berpotensi mengurangi ketergantungan pada impor, serta berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.

BACA JUGA: Kenali Manfaat Maggot sebagai Pengurai Sampah Organik

“Dengan pengolahan yang efisien, pakan ternak dan ikan akan lebih mudah dan murah didapatkan. Selain itu, proses ini juga dapat mengurangi limbah organik secara signifikan,” kata Novrizal.

Misalnya, 1 ton limbah organik dapat menghasilkan hampir 1 ton produk maggot, yang menunjukkan potensi besar untuk nilai ekonomi karbon. Ia juga menegaskan bahwa penerapan budi daya maggot dalam pengolahan sampah organik mendukung keberlanjutan lingkungan. Selain itu, teknologi ini juga meningkatkan ketersediaan pakan lokal.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top