Jakarta (Greeners) – Hari Mencuci Tangan Sedunia diperingati setiap tanggal 15 Oktober. Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah semakin mencanagkan Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS). Kali ini, CTPS bukan hanya sebagai bagian higienitas dasar, melainkan juga sebagai upaya mencegah Covid-19. Hanya saja, akses dan kesadaran terhadap CTPS, bahkan di tengah pandemi, masih belum ideal.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, Kirana Pritasari menjelaskan ketersediaan akses untuk CTPS serta membangun kesadaran masyarakat sangat penting dan berkaitan. Keduanya bisa melahirkan perilaku masyarkat hidup sehat, khususnya dalam menerapkan CTPS. Dukungan lain yang bisa dilakukan adalah penanaman nilai-nilai CTPS melalui sektor pendidikan.
“Kalau dikenalkan sedini mungkin, didukung perilaku di dunia pendidikan, tersedia fasilitas cuci tangan pakai sabun di tempat umum, ini bisa jadi perilaku yang melekat. Bahkan kita akan risih kalau belum melakukan itu,”ujar Kirana dalam peluncuran Kampanye Nasional dan Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia, di Jakarta, Kamis (15/10/2020).
Kirana menjelaskan, untuk tingkat global sekitar 40 persen dari populasi dunia atau sekitar 3 miliyar orang tidak memiliki akses ke sarana CTPS, baik di rumah maupun di ruang publik. Lebih jauh, Kirana menyebut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Menjelaskan. Berdasarkan data Riskesdas, hanya setengah dari populasi masyarakat Indonesia di atas usia 10 tahun mempraktikan cuci tangan yang benar.
“Ketersediaan akses ke fasilitas CTPS ini hanya berguna jika disertai dengan perilaku cuci tangan pakai sabun,” tegas Kirana.
Baca juga: Hari Pangan Sedunia dan Kerentanan Sistem Pangan Nasional di Masa Pandemi
Pandemi, Kemenkes Desak Keterlibatan Semua Pihak Guna Canangkan CTPS
Kirana menambahkan, problematika akses dan kesadaran terhadap CTPS berdampak pada kesenjangan antar daerah. DKI Jakarta sebagai ibu kota negara dan episentrum penyebaran Covid-19 hanya memiliki akses CTPS yang terbatas pada 73 persen warga.
Kirana menilai membangun kebiasaan CTPS tidak mungkin tercipta tanpa regulasi pendukung. Semua pemangku kepentingan, lanjutnya, harus menyerukan aksi yang sama serta berkomitmen menyusun regulasi yang mendukung aksi CTPS baik untuk promosi maupun penyediaan akses. Kolaborasi tersebut dia harapkan bisa membuat CTPS melekat di masyarakat. Dengan demikian, investasi untuk sosialisasi dan penyediaan fasilitas CTPS dapat lebih efektif dan efisien.
“Jangan sampai kembali ke perilaku yang kurang baik, sehingga kita investasi lagi untuk sosialisasi dan infrastruktur,” ucapnya.
Lebih jauh Kirana mengatakan kebersihan tangan sangat penting untuk menjaga masyarakat agar aman dari penyebaran Covid-19 dan penyakit menular lainnya. CTPS juga merupakan salah satu dari lima pilar perilaku higienis dan sanitasi total berbasis masyarakat. Adapun kelima pilar itu mencakup stop buang air besar sembarangan; CTPS; pengamanan air minum dan makanan rumah tangga; pengelolaan sampah rumah tangga; dan pengelolaan limbah cair rumah tangga.
“Pendekatan masyarakat sangat penting untuk mengubah perilaku higienis dan saniter melalui pemberdayaan masyarakat,” ujar Kirana.
Baca juga: KLHK Luruskan Ambiguitas UU Cipta Kerja
Agus Suprapto: Sesuaikan Penerapan CTPS dengan Kondisi di Daerah
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan, Kementerian Koordinator Bidang Pembanguan Manusia dan Kebudayaan, Agus Suprapto, menjelaskan kesadaran masyarkat dan ketersediaan akses untuk menerapkan CTPS meningkat tajam. Namun, hal tersebut dipicu adanya pandemi Covid-19. Padahal, CTPS perlu diterapkan sehari-hari sebab bisa mencegah penyakit-penyakit lain seperti diare.
“Tangan mudah membawa kuman dari mana-mana. Jika kita mencuci tangan bisa mencegah penyakit diare hingga 45 persen,” ungkapnya.
Agus lalu memberikan tips dalam proses membangun kebiasaan CTPS. Menurutnya, membiasakan CTPS perlu didasari pada kondisi di masing-masing daerah. Strategi yang digunakan di suatu daerah, terutama daerah maju, Agus nilai tidak bisa diterapkan untuk semua daerah. Agus pun mengimbau semua pihak yang memiliki sumber daya untuk hadir danberkreativitas.
Agus menyebut Sumba Barat sebagai contoh. Menurut pengalamannya, Sumba Barat memiliki tantangan sendiri dalam menerapkan CTPS. Di sana, lanjut Agus hujan hanya turun 2 sampai 3 bulan per tahun, sehingga akses ke air bersih begitu sulit. Di Kecamatan Kodi, Sumba Barat, lanjutnya, masih ada 5.219 keluarga tanpa tempat cuci tangan dan fasilitas Mandi-Cuci-Kakus (MCK). Warga daerah ini, lanjutnya, berpotensi besar terkena diare.
“Di kota tantangannya tidak seberapa, di daerah, terutama yang kering, mengalami permasalahan (yang lebih pelik),” tutupnya.
Penulis: Muhammad Ma’rup
Editor: Ixora Devi