Jakarta (Greeners) – Pada 9 Agustus tahun ini seluruh dunia merayakan Hari Internasional Masyarakat Adat di tengah pandemi Covid-19. Pagebluk ini memberikan jawaban sekaligus petunjuk agar manusia menjaga Bumi dan berlaku adil dengan sesama. Wabah korona juga menegaskan bahwa apa yang selama ini diperjuangkan oleh masyarakat adat merupakan hal yang dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Rukka Sombolinggi merenungkan sejumlah jawaban yang diberikan oleh pandemi kepada manusia. Dalam pidato daringnya di Hari Masyarakat Adat Internasional kemarin, ia menyebut empat hal yang menjadi refleksi.
Pertama, masyarakat adat yang bertahan di tengah krisis saat ini adalah mereka yang masih menjaga keutuhan wilayah adat dan setia menjalankan nilai maupun praktik leluhur. “Contohnya musyawarah adat, gotong royong, rasa senasib sepenanggungan, dan memanfaatkan kekayaan titipan leluhur secara bijaksana,” ucapnya pada Minggu, 9 Agustus 2020.
Baca juga: Studi: Keanekaragaman Hayati Papua Terkaya di Dunia
Rukka mengatakan masyarakat adat beserta wilayahnya yang masih bertahan sebagai sentra produksi dan lumbung pangan mampu menyelamatkan warga, sesama kelompok masyarakat adat, bahkan bangsa dan negara dari ancaman krisis pangan. “Masyarakat adat tidak hanya memiliki kemampuan untuk memenuhi pangannya secara mandiri, tetapi berbagi dengan komunitas-komunitas lain bahkan ke kota-kota,” ujarnya.
Kedua, kata Rukka, masyarakat adat yang tanahnya dirampas oleh perusahaan dan pemerintah, yang menjadi buruh dan dipaksa menjadi petani kelapa sawit tidak memiliki daya tahan menghadapi krisis pangan akibat pandemi berkepanjangan.
“Masyarakat adat yang sudah tidak berdaulat atas wilayah adatnya bernasib sama dengan yang hidup di perkotaan. Hal ini membawa kita menemukan jawaban ketiga, yakni selama masa pandemi ini juga membuktikan rasa senasib sepenanggungan antara masyarakat adat, petani, nelayan, dan buruh mampu membuat kita bertahan,” ujarnya.
Terakhir, Covid-19 menyuguhkan sejarah baru yang ditandai dengan krisis sangat besar. Ia menuturkan paradigma pembangunan yang mengandalkan ekonomi-politik neoliberalisme dan dipraktikkan oleh rezim kapitalisme global telah gagal total.
“Gagal membangun kesejahteraan bagi kita semua. Pabrik ditutup, industri skala besar terancam bangkrut, PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) massal terjadi di mana-mana, biaya hidup warga perkotaan meningkat, tingkat pengangguran di dunia dan di Indonesia terus meningkat pesat,” ujar Rukka.
Menurut Rukka, ketika krisis global terjadi, tidak ada solidaritas dari pengusaha yang selama puluhan tahun telah diistimewakan oleh pemerintah melalui berbagai regulasi dan dana. “Tidak ada mitigasi yang kuat dan langkah konkret yang dilakukan oleh pemerintah dalam mencegah PHK massal, termasuk mengatasi dampak lanjutan dari PHK akibat dari pandemi,” kata dia.
Baca juga: Rapid Test Dinilai Tak Bisa Dijadikan Diagnosis Corona
Ia menyebut ajakan perusahaan yang menawarkan lapangan kerja dan menjamin kehidupan hanya isapan jempol semata. Di wilayah adat maupun kota, kata dia, pembangunan justru menciptakan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan ekonomi. “Covid-19 pun telah memukul sangat keras negara-negara dengan ketimpangan ekonomi yang tinggi termasuk Indonesia,” ucapnya.
Pandemi Sars-CoV-2, kata dia, menunjukkan bahwa paradigma pembangunan saat ini harus diubah dengan prinsip ekonomi kerakyatan yang berlandaskan gotong-royong, keadilan, dan keberlanjutan kehidupan sebagai modal utama dan masa depan.
“Kita harus memperkuat sistem ekonomi di tingkat lokal. Sebuah sistem ekonomi global yang lebih adil dan merata akan dibentuk oleh jutaan sistem ekonomi skala lokal yang kokoh. Kita harus menciptakan mekanisme di mana masyarakat adat, pedesaan, dan urban dapat saling mendukung,” ucap Rukka.
Masyarakat Desak Pemerintah Sahkan RUU Masyarakat Adat
Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat, hingga Agustus 2020 ini telah terdaftar 863 peta wilayah adat dengan luas mencapai 11,09 juta hektare. Dari jumlah tersebut penetapan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat seluas 1,5 juta hektare disahkan melalui peraturan daerah dan surat keputusan kepala daerah.
Menurut Kasmita Widodo, Kepala BRWA, konstitusi negara telah mengakui keberadaan masyarakat adat di Indonesia. Namun, pemerintah sampai saat ini tidak memiliki sistem administrasinya.
Ketiadaan sistem administrasi masyarakat adat menimbulkan ketidakjelasan integrasi Peta Tematik Wilayah Adat dalam Kebijakan Satu Peta. Ia mengatakan pemerintah daerah telah menetapkan keberadaan masyarakat adat, tetapi peta wilayahnya tidak dapat diintegrasikan dalam geoportal Kebijakan Satu Peta karena tidak ada walidata peta di kementerian maupun lembaga pemerintah.
Baca juga: Dua Orangutan Terindikasi Malnutrisi Diselamatkan di Jawa Tengah
“Ketiadaan sistem administrasi mengakibatkan masyarakat adat, wilayah adat, dan kearifan lokalnya tidak menjadi rujukan dalam keseluruhan sistem pengaturan tenurial dan perencanaan pembangunan. Akibatnya, masyarakat adat selalu dan akan menjadi korban pembangunan dan tidak terlindungi hak- haknya,” ujar Kasmita.
Oleh karenanya Koalisi Kawal Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjalankan keseluruhan mandat konstitusi. “Negara wajib menyadari urgensi RUU Masyarakat Adat untuk segera disahkan,”ucapnya.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani