Jakarta (Greeners) – Hari Lingkungan Hidup Sedunia setiap tanggal 5 Juni merupakan hari terpenting untuk aksi lingkungan dan perubahan transformatif dalam melestarikan planet ini.
Mengusung tema “Only One Earth”, memberi pesan bahwa bumi masih satu-satunya rumah keberlanjutan kehidupan itu berada. Namun, dengan syarat umat manusia harus menjaga sumber dayanya mengingat maraknya kerusakan dan eksploitasi manusia.
Namun faktanya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, sepanjang awal Januari hingga Mei 2022 telah terjadi 1.686 bencana. Banjir dan cuaca ekstrem mendominasi kejadian bencana tersebut.
Aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Dwi Saung menilai, bencana-bencana seperti banjir, tanah longsor serta cuaca ekstrem tak terlepas dari banyaknya kerusakan akibat aktivitas manusia. Misalnya, alih fungsi lahan hutan, termasuk ekosistem rawa-rawa hutan mangrove yang justru banyak menyimpan karbon.
“Sebisa mungkin lahan yang tersisa harus kita jaga. Bukan malah diubah menjadi lahan perkebunan, pemukiman hingga untuk kebutuhan industri. Karena bagaimanapun lahan hutan itu penumpu kehidupan kita,” katanya kepada Greeners, baru-baru ini.
Alih fungsi lahan, sambung dia juga berperan menjadi penyebab terbesar bencana, seperti banjir sepanjang tahun. Hal ini terlepas dari siklus banjir panjang karena iklim.
Menurut Dwi, ancaman alih fungsi lahan akan menjadi bom waktu saat bencana terjadi. Ia tak hanya menyorot ancaman banjir akibat deforestasi lahan hutan, tapi juga mangrove yang juga menyebabkan banjir rob semakin parah.
“Banjir rob di Pantura Jawa Tengah memang biasa terjadi sebagai fenomena alam. Tapi perlu dipertanyakan kembali apakah murni fenomena alam ataukah akibat dari deforestasi ekosistem hutan mangrove,” ungkapnya.
Hari Lingkungan Hidup Momentum Pengingat Masih Maraknya Alih Fungsi Lahan
Hal senada Pakar Karhutla dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo ungkap. Ancaman alih fungsi lahan masih menjadi ancaman serius pada masa yang akan datang.
“Lihat saja apa yang terjadi di beberapa wilayah taman nasional, kawasan konservasi dan kawasan hutan kegiatan tersebut masih berlangsung,” imbuhnya.
Selain itu, Bambang menilai pentingnya upaya perlawanan perusakan lingkungan yang kaitannya dengan korupsi. Ancaman lain yang harus jadi perhatian adalah kebakaran hutan dan lahan yang kian meningkat.
Sementara itu Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha Agung Sugardiman menyebut, tren deforestasi pengurangan hutan Indonesia relatif rendah dan cenderung stabil.
“Penurunan 75 % laju deforestasi selama periode 2019/2020 ini merupakan bukti, bukan persepsi. Inilah hasil kerja keras kita bersama hingga laju deforestasi bisa diturunkan pada titik terendah sepanjang sejarah,” ungkap dia.
Menurut data KLHK Indonesia berhasil menurunkan deforestasi 75,03 % di periode tahun 2019-2020 sebesar 115.460 hektare (ha). Angka ini jauh menurun dari deforestasi tahun 2018-2019 sebesar 462.460 ha.
Selain alih fungsi lahan, Indonesia juga masalah memiliki persoalan serius di sektor sampah. Jumlah sampah yang masyarakat hasilkan mencapai 68,5 juta ton di tahun 2021. Pemerintah sudah menerapkan aturan dan target 70 persen penanganan dan 30 persen pengurangan sampah.
Namun upaya ini butuh upaya dan komitmen serius. Tanpa itu, gas metana yang sampah hasilkan juga punya kontribusi signifikan memperburuk dampak perubahan iklim.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin