Jakarta (Greeners) – Setiap tahun tanggal 2 Februari diperingati sebagai Hari Lahan Basah Sedunia. Tanggal ini merupakan hari ditandatanganinya Konvensi Lahan Basah atau Konvensi Ramsar di kota Ramsar, Iran, tahun 1971. Indonesia sebagai penyedia lahan basah terbesar di dunia masuk menjadi anggota Konvensi Ramsar pada tahun 1991 dan telah meratifikasi konvensi ini dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1991.
Masalahnya, keberadaan lahan basah belum dianggap penting. Alih fungsi lahan basah untuk perkebunan, pertambangan, permukiman dan pembangunan infrastruktur berdampak pada berkurangnya luasan lahan basah. Padahal, lahan basah mempunyai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan penting untuk berbagai macam kebutuhan hidup manusia termasuk sumber air dan sumber plasma nutfah.
“Lahan basah merupakan salah satu ekosistem yang harus diselamatkan karena lahan tersebut menyimpan air dan merupakan habitat dari berbagai jenis keanekaragaman hayati yang penting dalam siklus ekosistem,” ujar Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno, Jakarta, Kamis (01/02/2018).
BACA JUGA: Setiap Tahun Indonesia Kehilangan 52 Ribu Hektar Ekosistem Mangrove
Terkait hal ini, Wiratno menyatakan bahwa pemerintah terus mengupayakan untuk mengembalikan fungsi lahan basah, seperti membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) dan membuat berbagai kebijakan.
“Penyelamatan lahan basah melalui prinsip-prinsip dasar pengelolaan hulu-hilir. Kalau hulunya rusak tapi hilirnya bagus tidak bisa juga. Masih kita upayakan sampai sekarang ini untuk memperbaiki fungsi lahan tersebut,” katanya.
Saat ini telah diterbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor P. 40/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Fasilitasi Pemerintah pada Usaha Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Dengan adanya peraturan ini, perusahaan-perusahaan yang berada di kawasan gambut harus mengeluarkan lahan yang telah ditetapkan sebagai lahan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG) dari lahan usahanya.
“Perusahaan itu harus ada pengawasan dari pemerintah di lapangan. Saat ini kelemahannya karena pemerintah tidak turun langsung di lapangan dan harus diperbaiki. Pemerintah harus bisa long investment dan konsistensi dalam pengawasan yang berkelanjutan di lapangan, bukan berdasarkan laporan saja. Tidak cukup duduk di balik meja,” tegas Wiratno.
BACA JUGA: KLHK Terbitkan Peraturan Menteri Terkait Mekanisme Penggantian Lahan Usaha
Direktur Program Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA Sumatera) Yayasan KEHATI, Samedi, mengingatkan bahwa berkurang atau hilangnya lahan basah akan berdampak pada hilangnya kesempatan yang tidak bisa didapatkan lagi ke depannya dalam hal ekonomi, kesehatan, dan sosial.
“Kita lihat saja, di sekitar Jakarta tadinya banyak mangrove dan sekarang Pantai Indah Kapuk menjadi pemukiman. Hanya sedikit yang masih tersisa, salah satunya di Muara Gembong Bekasi, itu juga tinggal sedikit. Padahal lahan basah itu sebenarnya mempunyai fungsi yang sangat penting untuk menahan abrasi dan sumber keanekaragaman hayati yang sangat tinggi untuk generasi masa depan. Manusia pasti bergantung pada keanekaragaman hayati, tidak mungkin tidak,” kata Samedi.
Samedi memaparkan, luas lahan basah di daerah DKI Jakarta saat ini tidak lebih dari 200 hektar dari total ribuan hektar lahan basah. “Saat ini hanya ada suaka margasatwa seluas 25 hektar, hutan lindung 40-50 hektar, dan muara angke 100-an hektar. Masih ada juga di daerah Indramayu dan Brebes tapi itu juga sedikit dan sudah jauh berkurang,” katanya.
Penulis: Dewi Purningsih