Jakarta (Greeners) – Keberadaan ruang publik di setiap kota menjadi sebuah ornamen yang sangat penting bagi kebutuhan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, tidak heran jika pelaksanaan Hari Habitat Dunia 2015 yang jatuh pada Senin, 5 Oktober 2015 mengambil tema “Public Spaces for All” atau “Ruang Publik untuk Semua.”
Dwityo A.Soeranto, Direktur Keterpaduan Infrastruktur Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengungkapkan bahwa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap kota diwajibkan memiliki ruang terbuka hijau (RTH) paling tidak 30 persen dari jumlah luasan kota tersebut.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sendiri berusaha memaksimalkan dan menambah jumlah RTH untuk publik di Indonesia yang saat ini jumlahnya belum sesuai standar guna menjalankan program kota hijau.
“Salah satu cara memenuhi porsi ruang terbuka publik adalah dengan membuat lebih banyak ruang terbuka di wilayah perkotaan. Bentuknya pun tidak melulu taman bermain tetapi meliputi jalan, jalur pedestrian, pasar, dan fasilitas publik lainnya,” jelasnya saat dihubungi oleh Greeners, Jakarta, Senin (05/10).
Dwityo mengakui bahwa pembebasan lahan masih menjadi masalah utama dalam mewujudkan ruang publik maupun ruang terbuka hijau. Seperti yang terjadi pada DKI Jakarta. Dwityo mengatakan jika Pemerintah Provinsi Jakarta tidak bisa menyediakan lahan, maka program kota hijau tidak bisa berjalan.
“Jakarta sendiri hingga saat ini memang masih kesulitan dalam membuka lahan untuk kebutuhan ruang publik maupun ruang terbuka hijau, khususnya masalah sertifikat kepemilikan,” katanya.
Terkait masalah pembebasan lahan, Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, Ratna Diah Kurniati pun menyatakan hal senada. Diah mengatakan bahwa masalah pembebasan lahan selalu menjadi masalah klasik yang cukup sulit dihadapi mengingat banyaknya bangunan yang tidak memiliki sertifikat resmi atau bahkan bersertifikat ganda.
“Masalah pembebasan lahan ini juga sedang kita urus. Untuk ruang terbuka hijau sendiri kita tengah kejar 10 persen ini di tahun 2015,” tuturnya.
Pengamat Tata Kota Hijau dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menyatakan, biasanya ada dua hal yang selalu menjadi masalah terkait pembebasan lahan. Pertama, lahan yang ingin dibebaskan memiliki sertifikat ganda. Menurutnya, seperti sudah menjadi kebiasaan di Jakarta bahwa satu tanah bisa dimiliki oleh lebih dari satu anggota keluarga.
“Kedua, ada juga tanah-tanah yang tidak bersertifikat atau bersengketa. Nah, inilah yang biasanya menjadi perkara saat akan dilakukannya pembebasan lahan,” jelas Joga.
Sebagai solusinya, Joga menyatakan harus ada reformasi dari Kementerian Agraria agar lahan-lahan yang memiliki sertifikat ganda menjadi hanya satu sertifikat. Kemudian untuk lahan-lahan bersengketa agar segera diputuskan karena ada aturannya bila tanah tersebut bersengketa puluhan tahun, maka negara berhak mengambil alih untuk kepentingan negara. “Di sini saya rasa perlu ada intervensi yang nyata dari pemerintah,” pungkasnya.
Sebagai informasi, Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah penyelenggaraan peringatan Hari Habitat Dunia 2015 yang akan diselenggarakan di dua kota, yakni di Jakarta pada tanggal 5-6 Oktober 2015 dan di Denpasar pada tanggal 8-11 Oktober 2015.
Bali dipilih sebagai pusat penyelenggaraan Hari Habitat Dunia 2015 karena provinsi ini dinilai bisa menjadi contoh penerapan ruang publik yang baik. Kemen PUPR sedang mengembangkan percontohan ruang publik di Werdhapura, Sanur. Di sana terdapat Balai Informasi Penataan Ruang Kemen PUPR.
Penulis: Danny Kosasih