Jakarta (Greeners) – Melihat begitu rumitnya permasalahan air di Indonesia, maka sudah semestinya momen hari air sedunia yang jatuh setiap tanggal 22 Maret disikapi serius oleh seluruh lapisan masyarakat negeri ini.
Seperti kita ketahui, Mahkamah Konstitusi baru saja membatalkan UU No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan memberlakukan kembali UU No.11 tahun 1974 tentang Pengairan.
Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Edo Rakhman mengatakan pembatalan ini merupakan peringatan keras bagi pemerintah Indonesia agar tidak mengabaikan apa yang sesungguhnya menjadi hak dasar masyarakat.
Menurutnya, pemerintah dalam mengelola sumber daya air harus mengedepankan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dibandingkan dunia usaha atau private sektor yang diberi wewenang untuk melakukan privatisasi air.
“Sangat keliru jika pemerintah memberikan izin penguasaan atas sumber daya air kepada private sektor atau pihak ketiga lainnya sedangkan masih banyak masyarakat yang kesusahan memperoleh air. Bahkan tak sedikit usaha-usaha yang bergerak di sektor pertambangan, juga menguasai bahkan menghancurkan sumber daya air.” jelasnya kepada Greeners, Jakarta, Minggu (22/03).
Hak atas air, lanjutnya, adalah hak dasar masayarakat yang tidak bisa dibatasi, apalagi harus dibebani pembiayaan. Apalagi selama itu adalah untuk kebutuhan hidup sehari-hari warga, jelasnya, pemerintah tidak boleh membebani masyarakat dengan bayaran wajib karena itu sudah menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk menyediakan air bersih bagi rakyatnya.
Di samping itu, Walhi juga mendesak pemerintah agar membangun infrastruktur penyaluran air khususnya di wilayah terpencil untuk mendekatkan sumber daya air ke masyarakat sehingga masyarakat tidak kekurangan dan kesulitan mendapatkan air bersih.
“Pemerintah harus mengalokasikan dana yang memadai untuk pembangunan infrastruktur sehingga dapat mengalirkan air yang sumber mata airnya berada jauh dari pemukiman warga menuju tempat tinggal mereka” tegasnya.
Di lain pihak, pemerintah akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjanjian kerja sama dan izin pengusahaan air dengan pihak swasta yang telah tertandatangani kontraknya. Langkah ini dilakukan untuk memberikan kepastian hukum bagi pengusaha air pasca pembatalan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 Sumber Daya Air (SDA) oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Direktur Pengembangan Air Minum Ditjen Cipta Karya Kementerian PU-Pera Mochammad Natsir mengatakan untuk melanjutkan perjanjian kerja sama izin pengusahaan air dengan swasta yang telah memiliki kontrak, Kementerian PU akan melayangkan surat edaran kepada seluruh pemerintah daerah yang isinya menyatakan bahwa seluruh kontrak kerja sama dan izin pengusahaan air minum yang telah dilakukan sebelum pembatalan UU Sumber Daya Air tetap sah dan bisa dilanjutkan hingga berakhirnya kontrak.
“Tujuannya memberi kepastian hukum, karena setelah pembatalan UU SDA, ada pandangan bahwa kontrak dan izin pengusahaan air oleh swasta menjadi ilegal,” pungkasnya.
Sebagai informasi, sebelumnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memaparkan bahwa berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), akses aman air minum pada 2013 baru mencapai 67,78%. Dari jumlah tersebut, akses melalui jaringan pipa baru mencapai 19%.
Menurutnya, pemerintah memiliki target untuk mencapai akses pemipaan 100%. Namun demikian, dengan memperhitungkan berbagai hal, terutama kekuatan anggaran, pemerintah menetapkan target 60% untuk 2019. Selebihnya, 40% menggunakan sistem non perpipaan.
Sedangkan untuk mencapai target 100% air minum aman, dengan 60% jaringan perpipaan dan 40% jaringan terlindungi dibutuhkan investasi sebesar 253 trilun rupiah. Sementara itu, alokasi dana APBN Kementerian PU-Pera berdasarkan RPJMN hanya akan mampu memenuhi 28% dari total kebutuhan yang ada.
Penulis : Danny Kosasih