Jakarta (Greeners) – Meski 88 % orang di Indonesia mengaku familiar dengan istilah perubahan iklim (climate change). Namun, hanya 44 % di antaranya atau 39 % dari total populasi paham tentang perubahan iklim. Ini membuktikan pemahaman masyarakat Indonesia tentang perubahan iklim masih tergolong rendah.
Bertajuk “Pesan Penggugah Harapan” hasil riset ini dipaparkan dalam pameran di MULA by Galeria Jakarta, Cilandak Town Square, Jakarta Selatan pada 11-13 Januari 2023.
Communication for Change (C4C) dan Development Dialogue Asia (DDA) melakukan riset dengan menyurvei 3.490 responden di 34 provinsi pada April-Agustus 2021. Kemudian berlanjut dengan 14 kegiatan diskusi (focus group discussion atau FGD) selama Juli-Agustus 2022.
CEO dan Principal Consultant C4C, Paramita Mohamad menyatakan, banyak sekali orang Indonesia yang merasa pernah dengar perubahan iklim. Tapi pemahamannya masih keliru.
“Dalam artian mereka masih berpikir ini masalah nanti. Kurang dari separuhnya bilang bahwa itu karena perbuatan manusia. Jadi ya masih salah,” katanya kepada Greeners, Kamis (12/1).
Selain itu, hanya 1 dari 3 responden yang menjawab pemanasan global telah terjadi saat ini. Kurang dari setengah populasi (47 %) yang percaya penyebabnya adalah manusia.
Tentu riset ini tak sekadar memotret pemahaman masyarakat Indonesia. Lebih dari itu, berupaya memberikan alternatif pendekatan komunikasi efektif terkait isu global ini kepada masyarakat.
“Jadi tidak hanya memotret ibaratnya mengetes darah lalu keluar semua angka-angkanya. Tapi kita ada obatnya kalau obat A atau B cocok tidak,” ucapnya.
Penggunaan Istilah Sederhana
Oleh karena itu, penting untuk menyadarkan pemahaman terkait perubahan iklim yang efektif. Penelitian dari Amerika Serikat mengkonfirmasi bagaimana pesan tentang perubahan iklim yang membawa istilah-istilah asing dan rumit bagi orang awam seperti “emisi gas rumah kaca”, “dekarbonisasi”, “antropogenik” membuat masyarakat justru mengabaikannya.
Sebaliknya, sambung Mitha dengan penggunaan istilah sederhana seperti mengadaptasi istilah “selimut bumi” membuat masyarakat lebih mudah memahami isu ini. “Mulai dari anak SD tahu selimut itu kalau ketebalan bisa bikin gerah dan kalau buminya kepanasan akan menyebabkan air es meleh, kekeringan, kekurangan air hingga gagal panen,” tuturnya.
Penggunaan istilah “selimut bumi” mereka pakai pada 14 FGD di Jakarta, Jayapura (Papua), Tarai Bangun (Riau), Kisaran (Sumatera Utara), serta Tegal, Demak, dan Semarang (Jawa Tengah).
Hasilnya, para responden khususnya usia 18-49 tahun tampak lebih mudah membayangkan berbagai kejadian fenomena bencana alam merupakan dampak climate change.
Penyampaian Pesan Perubahan Iklim
Tak hanya itu, komunikasi efektif terkait perubahan iklim harus memerhatikan latar belakang audiens. Setidaknya terdapat tiga kelompok masyarakat, yaitu konvensional mapan peduli (33 %), penggembira non militan (28 %), dan penjaga tempat kami (27 %).
Penyampaian pesannya harus mempertimbangkan latar belakang karakteristik mereka. “8 dari 10 orang Indonesia mengaku merasa punya kewajiban moral untuk melindungi lingkungan dari kerusakan akibat ulah manusia. Itulah kenapa pesan harus dengan nilai pesan moral,” ungkapnya.
Sementara itu kelompok konvensional mapan peduli adalah mereka yang banyak tinggal di kota dan pekerja kerah putih. Biasanya mereka cukup paham isu perubahan iklim. Pesan narasi pada kelompok ini “menjaga alam adalah menjaga titipan Tuhan” dan bisa melalui pemuka agama.
Namun berbeda halnya ketika berhadapan dengan masyarakat penjaga tempat kami. Mereka banyak bekerja di pertanian atau sebagai ibu rumah tangga. Pesan narasi pada kelompok ini yaitu hubungan penjagaan alam dan ancaman perubahan iklim terhadap sumber nafkah dan cara hidup mereka selama ini.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin