Jakarta (Greeners) – Areal moratorium gambut yang merupakan salah satu produk dari Kemitraan Perubahan Iklim antara Norwegia-Indonesia ternyata didominasi oleh hamparan perkebunan sawit. Hal tersebut terungkap dari laporan yang dikeluarkan oleh Greenomics Indonesia berjudul “The Climate Scandal? Indonesia’s peatland moratorium areas dominated by a significant expanse of palm oil plantations” yang diterbitkan di Jakarta pada Senin, tanggal 18 Januari 2016.
Laporan Greenomics tersebut memperlihatkan hampir 1,3 juta hektar areal moratorium gambut yang tersebar di Provinsi Riau, mayoritas merupakan hamparan perkebunan sawit. Kemitraan Norwegia-Indonesia yang ditandatangani pada pertengahan Mei 2010 itu, menyatakan bahwa kemitraan itu bertujuan untuk memberikan kontribusi dalam menurunkan emisi secara signifikan, di antaranya, dengan menghindari terjadinya pembukaan lahan gambut.
“Apakah penurunan emisi secara signifikan tersebut dapat terjadi jika mayoritas areal moratorium gambut ternyata berupa hamparan perkebunan sawit?” tanya Vanda Mutia Dewi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Jakarta, Selasa (19/01).
Selain itu, areal moratorium gambut yang didominasi perkebunan sawit itu tidak hanya terjadi di Provinsi Riau, namun juga tersebar di provinsi-provinsi lain di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Areal moratorium gambut yang seperti ini, ungkapnya, adalah warisan dari pemerintahan sebelumnya kepada pemerintahan sekarang.
“Pihak-pihak yang terkait dengan implementasi kemitraan Norwegia-Indonesia tersebut tentu harus menjelaskan ke publik, mengapa mayoritas areal moratorium gambut ternyata isinya adalah perkebunan sawit,” ujar Vanda.
Laporan Greenomics tersebut juga mengungkapkan bahwa rantai pasokan minyak sawit dari grup bisnis besar yang tergabung sebagai penandatangan Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) seperti Wilmar, Musim Mas, GAR, Cargill dan Asian Agri, terkait dengan minyak sawit yang berasal dari areal moratorium gambut. Sebagai penandatangan IPOP, rantai pasokan minyak sawit dari grup-grup bisnis besar itu seharusnya bebas dari areal moratorium gambut, baik yang tersebar di Sumatera maupun Kalimantan. “Mereka harus mengambil sikap dan keputusan cepat,” ujarnya tegas.
Penulis: Danny Kosasih