Greenpeace-SBMI Ungkap Kerja Paksa Pekerja Perikanan Migran di Kapal Taiwan

Reading time: 3 menit
Greenpeace-SBMI mengungkap kerja paksa pekerja perikanan migran di kapal Taiwan. Foto: Adhi Wicaksono/ Greenpeace
Greenpeace-SBMI mengungkap kerja paksa pekerja perikanan migran di kapal Taiwan. Foto: Adhi Wicaksono/ Greenpeace

Jakarta (Greeners) – Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengungkapkan dugaan praktik kerja paksa dan eksploitasi finansial. Hal itu dialami oleh awak kapal perikanan (AKP) migran Indonesia di kapal ikan berbendera Taiwan.

Laporan berjudul Netting Profits, Risking Lives: The Unresolved Human and Environmental Exploitation at Sea” menganalisis 10 kasus. SBMI menerima kasus tersebut dari nelayan migran Indonesia yang bekerja di kapal ikan jarak jauh berbendera Taiwan sejak 2019 hingga 2024.

Tim investigasi menemukan benang merah yang menghubungkan dugaan praktik kerja paksa di kapal dengan industri tuna kalengan yang beroperasi di Amerika Serikat.  Tim juga berhasil mengidentifikasi adanya dugaan peran agen perekrutan di Indonesia yang turut mendapatkan keuntungan dari penderitaan AKP migran.

BACA JUGA: Usut Tuntas Pelanggaran HAM pada ABK Indonesia

Menurut Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno, masalah ini telah berlangsung lama. Namun, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya cenderung tidak berupaya memperbaiki kondisi perlindungan bagi nelayan migran Indonesia. Ia menekankan bahwa pembiaran terhadap praktik ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.

“Alih-alih mendapatkan penghidupan layak, saudara-saudara kita para nelayan migran Indonesia justru menjadi korban perbudakan modern,” ujar Hariyanto lewat keterangan tertulisnya, Senin (9/12).

AKP Laporkan Bentuk Praktik Kerja Paksa

Laporan ini diluncurkan pada hari HAM Sedunia, 10 Desember, dengan menyoroti beberapa masalah utama, termasuk perbudakan modern di laut. AKP migran Indonesia melaporkan berbagai bentuk praktik kerja paksa berdasarkan indikator Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).

Beberapa bentuk praktik tersebut meliputi penipuan (100%), penahanan dokumen identitas pribadi (100%), penyalahgunaan kerentanan (92%), dan jeratan utang (92%).

Selain itu, terdapat juga eksploitasi finansial yang parah, seperti penahanan upah hingga 20 bulan. Hal ini menyebabkan nelayan migran tidak mendapatkan penghasilan dan menempatkan ekonomi keluarga mereka dalam kondisi kritis. Dalam satu kasus, seorang pekerja yang mengalami cedera mata tidak menerima kompensasi asuransi medis yang setara dengan 25 kali gaji bulanannya.

Laporan ini juga mencatat adanya praktik perikanan ilegal yang tidak dilaporkan dan tidak diatur oleh hukum yang berlaku. Enam dari 12 kapal berbendera Taiwan terindikasi terlibat dalam kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing. Kegiatan ilegal tersebut meliputi transshipment ilegal, beroperasi tanpa izin di luar yurisdiksi yang semestinya, dan menangkap ikan di kawasan konservasi.

Selain itu, laporan ini mengungkap keterlibatan merek global dalam rantai pasokan ilegal. Empat kapal—Chaan Ying, Guan Wang, Shin Lian Fa No. 168, dan Sheng Ching Fa No. 96—teridentifikasi terhubung dengan merek tuna kalengan Amerika Serikat, Bumble Bee. Merek tersebut milik perusahaan tuna Taiwan, FCF.

Kapal-kapal ini tercatat memasok hasil tangkapan mereka ke Bumble Bee dalam beberapa pengiriman selama beberapa tahun. Hal ini menunjukkan adanya hubungan bisnis yang berlangsung lama antara kedua belah pihak.

Dugaan Praktik Pelanggaran Hak Pekerja

Selama satu dekade terakhir, Greenpeace Indonesia dan SBMI telah bekerja sama dalam mengungkap dugaan praktik pelanggaran hak pekerja. Mereka juga mendorong pemerintah Indonesia untuk memperbaiki hal ini. Laporan ini merupakan seri ketiga dari laporan investigasi serupa yang terbit pada 2019 dan 2021.

BACA JUGA: Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia; Koreksi Kebijakan untuk Pemulihan Lingkungan

Greenpeace Asia Tenggara dan SBMI mendesak pemerintah Indonesia, Taiwan, dan AS untuk mengambil langkah konkret dengan memperketat kebijakan dan regulasi industri perikanan. Mereka juga meminta agar korporasi bertanggung jawab atas praktik tidak manusiawi dan tidak berkelanjutan.

Mereka juga mendesak pemerintah untuk menyediakan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi pekerja migran. Ini termasuk mekanisme pengaduan yang efektif dan transparan. Selain itu, mereka meminta agar pemerintah membangun industri seafood global yang adil, manusiawi, dan lestari.

Juru Kampanye Laut Senior Greenpeace Asia Tenggara, Arifsyah Nasution menngatakan bahwa temuan yang terungkap dalam laporan ini bisa jadi adalah fenomena gunung es. Oleh sebab itu, Greenpeace dan SBMI akan terus melakukan investigasi. Hal ini guna mengungkap lebih banyak sisi kelam industri perikanan global.

“Tujuannya tentu untuk mendorong transformasi ke arah yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih berkelanjutan bagi masa depan para nelayan, konsumen, dan laut kita,” ujar Arifsyah.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top