Jakarta (Greeners) – Greenpeace Indonesia kecewa dan menyayangkan pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo tak menyebut dan menyinggung soal krisis iklim. Padahal dampak dari krisis iklim sudah nyata masyarakat rasakan.
Dalam pidato kenegaraan jelang HUT RI ke-77 di Gedung MPR/DPR itu, Jokowi hanya menyebut tiga krisis yang saat ini dunia hadapi. Krisis tersebut yakni krisis pangan, energi dan krisis finansial.
“Namun sayangnya, salah satu krisis yang paling nyata di depan mata dan sedang terjadi di seluruh dunia yaitu krisis iklim, tidak disinggung sama sekali,” kata Direktur Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak dalam keterangannya, baru-baru ini.
Padahal menurutnya, Indonesia harus terlibat aktif dalam kepemimpinan global terhadap permasalahan perubahan iklim. Indonesia merupakan salah satu negara rentan terhadap dampak bencana iklim sekaligus sebagai pertahanan terakhir upaya menghindari bencana iklim yang tak terpulihkan.
Dalam kepemimpinannya, pemerintah harus membawa Indonesia bertransisi dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan. Selain itu, juga memastikan melindungi hutan alam Indonesia yang tersisa. Di samping itu juga harus menerapkan ekonomi hijau yang adil dan berkelanjutan, yang dapat membawa Indonesia merdeka dari krisis iklim.
Ekonomi Ekstraktif Masih Mendominasi
Lebih jauh tambahnya, Indonesia pun masih mengandalkan ekonomi ekstraktif yang selama ini berkontribusi pada perusakan lingkungan hidup, perubahan iklim dan krisis iklim. Presiden secara spesifik menyebutkan tentang hilirisasi industri tambang nikel, bauksit, tembaga dan timah.
“Industri yang presiden sebut merupakan industri ekstraktif yang kita semua ketahui, operasi tambang-tambangnya mempunyai sejarah penghancuran lingkungan secara masif,” paparnya.
Selain itu, fenomena pencemaran tanah dan air, perampasan lahan, kehancuran hutan, serta korban tenggelam di lubang tambang adalah kenyataan pahit akibat dampak operasi tambang selama ini.
Menggencarkan ekonomi berbasis industri ekstraktif, sambung dia menambah potensi meminggirkan dan memiskinkan masyarakat lokal.
Sementara pembangunan IKN yang digadang-gadang akan menjadi kota hijau, berteknologi tinggi perlu peninjauan ulang. Penetapan dan pembangunan nusantara sebagai ibu kota negara telah mengorbankan beratus-ratus hektare hutan tropis Kalimantan. Di samping itu juga habitat satwa endemik Indonesia, yaitu orang utan serta satwa liar lainnya dan melepaskan emisi karbon yang signifikan.
Presiden juga menyebutkan tentang penggunaan energi bersih seperti matahari, panas bumi, air, angin dan juga ombak. Nyatanya, sampai tahun 2056, Indonesia baru akan memensiunkan PLTU batu bara. Penggunaan batu bara masih mendominasi sekitar 65 % bauran energi nasional.
Indonesia Harus Merdeka dari Krisis Iklim
Selain itu, kebanggaan pemerintah pada minyak sawit tidak serta merta mensejahterakan kehidupan petani sawit kecil. Justru berpotensi memberikan pemutihan terhadap keberadaan perkebunan sawit dalam kawasan hutan.
Subsidi dan keuntungan berlipat ganda hanya segelintir perusahaan-perusahaan sawit raksasa yang menikmati. Terlebih lagi, peristiwa kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng, masih menyisakan tanda tanya besar atas pengelolaan minyak sawit mentah di dalam negeri.
Pemerintah, sambung Leonard harus membawa Indonesia bertransisi dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan. Selain itu, juga memastikan melindungi hutan alam Indonesia yang tersisa, menerapkan ekonomi hijau yang adil dan berkelanjutan, yang dapat membawa Indonesia merdeka dari krisis iklim.
“Hal-hal tersebut akan memperjelas komitmen Indonesia terhadap resolusi terbaru Majelis Umum PBB. Resolusi itu menetapkan lingkungan hidup yang bersih, aman dan berkelanjutan sebagai hak asasi manusia,” pungkas Leonard.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin