Greenpeace Desak Pencemar Bayar Dampak Kerusakan Lingkungan

Reading time: 3 menit
Greenpeace mendesak pencemar bayar dampak kerusakan lingkungan. Foto: Marie Jacquemin / Greenpeace
Greenpeace mendesak pencemar bayar dampak kerusakan lingkungan. Foto: Marie Jacquemin / Greenpeace

Jakarta (Greeners) – Greenpeace Indonesia menyerukan #PollutersPay di agenda Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of Parties ke-29 (COP29). Mereka mendesak para pencemar lingkungan untuk membayar dampak kerusakan yang timbul.

Greenpeace mendesak pemerintah negara-negara yang berkumpul dalam COP29 untuk memberikan pendanaan langsung kepada masyarakat adat atau komunitas lokal. Pendanaan ini untuk mendukung upaya nyata mereka dalam melindungi keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup yang kaya akan karbon.

Selain itu, Greenpeace juga mendesak pemerintah Indonesia untuk berhenti mempromosikan dan melanjutkan skema perdagangan karbon. Skema ini memungkinkan para pencemar lingkungan untuk terus membawa Bumi menuju krisis iklim yang lebih parah.

BACA JUGA: Celios: Perdagangan Karbon, Solusi Keliru untuk Atasi Krisis Iklim

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik mengatakan bahwa cara tercepat untuk mengurangi karbon dari atmosfer adalah melindungi dan memulihkan hutan-hutan primer. Masyarakat adat dan komunitas lokal adalah orang-orang yang tepat melakukan ini.

“Dana untuk mendukung kerja-kerja ini harus berasal dari mereka yang mampu membiayainya, dan langsung disalurkan ke mereka yang membutuhkan,” kata Iqbal.

Saat negosiasi soal panduan untuk jual-beli karbon sedang berlangsung di pekan kedua COP29, Greenpeace juga mewanti-wanti bahwa perdagangan karbon adalah solusi palsu. Sebab, skema perdagangan karbon ini bisa jadi celah untuk para pencemar melakukan ragam modus operandi, termasuk memakai jasa akuntan keuangan, untuk lari dari tanggung jawab, dan akhirnya membahayakan iklim serta keanekaragaman hayati.

Greenpeace mendesak pencemar bayar dampak kerusakan lingkungan. Foto: Marie Jacquemin / Greenpeace

Greenpeace mendesak pencemar bayar dampak kerusakan lingkungan. Foto: Marie Jacquemin / Greenpeace

Perdagangan Karbon Sesat

Studi terbaru menemukan bahwa dari 2.346 proyek dagang karbon di dunia, hanya 16 persen yang berhasil mencapai pengurangan emisi. Hal ini menjadi salah satu alasan Greenpeace khawatir dengan solusi carbon capture & storage (CCS) dan bio-energi. Solusi ini juga merupakan usulan dari Ketua Delegasi Indonesia dalam agenda COP29, Hashim Djojohadikusumo.

Menurut Iqbal, premis dasar perdagangan karbon sudah sesat. Ini skema curang para pencemar lingkungan yang seharusnya segera menghentikan emisi, bukan mencari solusi palsu seperti perdagangan karbon.

“Walau perdagangan karbon sudah masuk ke dalam draf pembahasan soal iklim di Baku, perlu dicatat bahwa masih ada ketidakpastian yang cukup serius soal metodologi dan definisi untuk menghitung dan memantau skema ini,” lanjut Iqbal.

Pengalaman Buruk Percobaan Perdagangan Karbon

Greenpeace Indonesia juga sudah mengamati sejumlah pengalaman buruk dari percobaan penerapan perdagangan karbon di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, masalah legalitas dan penguasaan lahan di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku.

Selain itu, ada klaim berlebihan mengenai penyimpanan karbon dalam sebuah proyek di Kalimantan Tengah. Terdapat juga kekhawatiran tentang greenwashing pada sejumlah proyek di Riau dan Kalimantan Barat, terkait keterlibatan perusahaan dalam deforestasi di daerah lain.

BACA JUGA: Perdagangan Karbon Bukan Satu-satunya Solusi Turunkan Emisi

Bahkan, terdapat potensi pelanggaran hak-hak masyarakat adat lewat perampasan lahan dan kegagalan saat sosialisasi atau berupaya mendapat persetujuan dari komunitas lokal oleh sebuah proyek di Kepulauan Aru.

“Kredit dari proyek-proyek ini seolah digunakan untuk membenarkan emisi yang terus diproduksi oleh para pencemar. Seperti Shell atau perusahaan terbesar minyak dan gas Australia, Woodside Energy,” kata Kepala Global Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace, Kiki Taufik.

Dari 53 proyek kredit karbon yang masuk identifikasi awal penelitian Greenpeace, 15 proyek sedang berjalan. Sedangkan 26 di antaranya sedang dalam pengembangan atau menunggu dimulai. Sisanya, ada proyek yang belum dimulai, ada pula yang berakhir sebelum dimulai. Beberapa proyek lainnya memiliki informasi yang sangat minim, sehingga statusnya tidak jelas.

Kiki menjelaskan bahwa masalah umum dalam proyek karbon yang sudah berjalan di Indonesia adalah kegagalan dalam memenuhi hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal. Selain itu, ia juga menyoroti adanya keserakahan yang muncul karena motif mencari keuntungan lewat perdagangan karbon.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top