Jakarta (Greeners) – Sejak tahun 2010, dunia termasuk Indonesia sudah mulai mengonsepkan pembangunan hijau atau Green Building yang hemat energi. Bangunan yang mampu mengukur tingkat energi dan mampu meminimalisir emisi yang dihasilkan sehingga ramah lingkungan.
Namun, ada sebuah tantangan baru yang akan dihadapi pada tahun 2020 nanti. Naning Adiwoso, Chair Person Green Building Council (GBC Indonesia), mengatakan bahwa konsep green building akan merujuk juga pada konsep healthy building. Ini artinya, bangunan bukan hanya hemat energi, namun juga produk bangunan, baik interior maupun eksterior, tidak lagi mengandung metan atau bahan-bahan beracun yang berbahaya bagi tubuh.
“Di sini ada banyak orang, khususnya yang kelas menengah, tidak tahu atau tidak peduli pada sekitarnya. Mereka tidak tahu kalau lem yang digunakan pada meja kerja, karpet yang ada di ruang meeting atau bahan-bahan bangunan lain itu banyak mengandung zat yang berbahaya bagi kesehatan,” jelasnya saat menjadi pembicara pada seminar “Material Berkelanjutan” di Jakarta, Kamis (19/03).
Noer Adi Warsojo, Asisten Deputi Standardisasi dan Teknologi Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menyatakan yang dimaksud dengan green building atau bangunan hemat energi adalah bangunan yang memenuhi setidaknya lima aspek kebutuhan.
“Yang jelas menggunakan material yang sifatnya berkelanjutan, efisiensi energi seperti penggunaan pendingin ruangan maupun listrik yang bijak. Lalu, hemat dalam penggunaan air, dan produk yang digunakan baik untuk kesehatan,” katanya.
Selain itu, Nur Maliki Arifiandi dari Global Forest and Trade Network (GFTN), WWF Indonesia mengatakan, untuk menciptakan konsep green building maupun healthy building tersebut dibutuhkan partisipasi industri untuk selalu menggunakan bahan produksi yang legal dan tersertivikasi.
GFTN sendiri, jelas Nur, telah menciptakan jaringan di lebih dari 360 perusahaan, komunitas, Lembaga Swadaya Masyarakat dan pengusaha di lebih dari 30 negara untuk menciptakan sebuah pasar baru bagi produk-produk hutan, seperti kayu, yang lebih bertanggung jawab pada hutan.
“Ada banyak penyedia kayu yang tidak tersertivikasi secara kredibel dan perdagangan kayu dan pulp secara ilegal masih sering terjadi. Untuk itu GFTN hadir untuk memfasilitasi dan berkoordinasi agar terjadi pengelolaan hutan yang lestari,” tutur Nur.
GFTN, tambahnya, percaya bahwa sebuah respon efektif untuk masalah sertifikasi adalah dengan mengubah pasar global menjadi kekuatan positif untuk menyelamatkan hutan-hutan dunia yang terancam gundul akibat pembalakan.
“Konsumen ingin dan butuh tahu darimana asal kayu yang mereka beli dan GFTN memastikan pendampingan untuk sertifikasi legalitas tersebut,” tandasnya.
Penulis: Danny Kosasih