Giant Sea Wall Bisa Perburuk Lingkungan Pesisir Teluk Jakarta

Reading time: 2 menit

Jakarta (Greeners) – Pemerintah provinsi DKI Jakarta merencanakan pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall sepanjang 30 kilometer di Teluk Jakarta pada pertengahan tahun 2014. Pembangunan tanggul yang digagas oleh mantan gubernur Fauzi Bowo ini bertujuan untuk menanggulangi banjir di utara Jakarta, mencegah terjadinya banjir rob yang lebih besar dan sebagai sumber air bersih.

Dari penelitian Armi Susandi (2007) dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang berjudul “Pengaruh Perubahan iklim di Jakarta dengan Menghitung Laju Kenaikan Temperatur di Jakarta dan Kenaikan Muka Air Laut”, bahwa diprediksi kenaikan permukaan air laut Teluk Jakarta mencapai rata-rata 0.57 cm per tahun. Ini berpotensi merendam kawasan pantai antara 0,28 – 4,17 meter pada tahun 2050.

Berdasarkan penelitian itu, beberapa daerah disepanjang pesisir Jakarta seperti Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, Koja, Cilincing dan Bandar Udara Soekarno Hatta, bakal terendam air. Dari aspek sosial dan ekonomi, salah urus pengelolaan pesisir akan menggusur setidaknya 14.316 jiwa masyarakat yang tersebar di enam kampung nelayan.

Sementara Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF-CJI) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyatakan pembangunan bendungan laut raksasa itu dapat memperburuk kondisi lingkungan pesisir Jakarta, karena memperlambat arus debit air tiga belas sungai yang bermuara di Teluk Jakarta dan memacu pendangkalan sungai.

“Bila hal ini berlangsung, pemerintah harus mengeruk sungai secara teratur, supaya tidak mengakibatkan banjir. Tanggul raksasa juga akan melahirkan sejumlah masalah baru yang merugikan masyarakat dan pemerintah,” kata Mida Saragih, Koordinator Nasional CSF-CJI dalam siaran pers yang diterima Greeners.

“Pemerintah semestinya serius menyiapkan perluasan Ruang Terbuka Hijau sampai dengan 30 persen guna memberikan perlindungan terhadap kualitas udara dan iklim mikro,” tambah Mida.

Sedangkan Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA mengatakan pembangunan bendungan itu tidak memperhatikan kemampuan daya dukung lingkungan hidup dan sumber daya alam.

Menurut kajian Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), pemburukan kualitas ekosistem pesisir Jakarta berlangsung dengan sangat cepat dan tidak memperhatikan implikasinya terhadap penurunan daya dukung lingkungan. Di antaranya hutan mangrove seluas 1.134 hektare pada tahun 1960, kini tersisa tidak lebih dari 15 % saja.

Salah satu penyebab utamanya adalah alih fungsi lahan dengan cara pengurugan tanah untuk perluasan lahan (reklamasi). Dengan izin pemerintah, sejumlah perusahaan properti dan pergudangan melaksanakan reklamasi tersebut.

Oleh karena itu KIARA dan CSF-CJI mendesak Kementerian Koordinator Perekonomian RI dan Pemerintah DKI Jakarta agar mulai meletakkan prediksi DNPI terkait Jakarta 2030 sebagai referensi strategis guna merevisi Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Jakarta.

Pemerintah agar lebih berkonsentrasi untuk pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya air yang mengintegrasikan hulu-hilir. Tujuan utamanya agar inisiatif-inisiatif penyelamatan lingkungan yang sudah berlangsung dapat memberikan hasil maksimal dan membebaskan Jakarta dari bencana.

Pada kesempatan sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menjelaskan ada tiga kendala pembangunan tanggul raksasa yaitu belum selesainya rancangan besar tanggul, belum dimulainya pembebasan lahan, dan belum diaturnya pelaksana proyek.

“Penginnya semua cepat toh, tapi mau gimana. Kita kejar-kejaran loh, level air laut makin tinggi kan. Air tanah juga semakin turun,” ujarnya seusai bertemu Direktur Jenderal Sumber Daya Air dan Mineral Kementerian Pekerjaan Umum Muhammad Hasan di Balaikota Jakarta, Jumat (6/9/2013). (G02)

Top