Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia (GDRI) merilis sejumlah kebijakan yang dinilai keliru dan berdampak buruk bagi lingkungan semasa kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Salah satu perwakilan GDRI, Chalid Muhammad menyatakan koreksi kebijakan ini sengaja dikeluarkan menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2014 guna menantang para calon presiden mengeluarkan pernyataan tegas untuk berani melakukan koreksi serta memiliki kemauan untuk mengubah kebijakan yang dinilai salah selama kepemimpinan SBY.
“Kami berharap presiden baru berani melakukan koreksi atas kebijakan-kebijakan yang keliru itu,” ujarnya dalam konfrensi pers Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia pada Minggu (28/4) di salah satu restoran di wilayah Jakarta.
Beberapa kebijakan keliru dalam masa pemerintahan SBY antara lain terkait persoalan kebijakan energi, perubahan iklim, masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), ketidakseriusan pemerintah dalam melaksanakan reformasi izin pemanfaatan kawasan hutan, dan penguasaan asing dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Terkait soal kebijakan energi nasional misalnya, GDRI menyoroti eksploitasi energi fosil secara besar-besaran seperti batubara dan migas. Sementara di lain pihak, Indonesia harus menutup kekurangan kebutuhan BBM per harinya yang didapat dari mengimpor 700 juta barel untuk konsumsi sebanyak 1,4 juta barel per hari. Kebijakan ini mengakibatkan neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit setiap tahun.
Kebijakan konversi hutan untuk kepentingan-kepentingan non kehutanan utamanya untuk kepentingan perkebunan, pinjam pakai hutan untuk pertambangan, dan lemahnya komitmen untuk moratorium perizinan baru dinilai mempercepat laju kerusakan dan ancaman bencana lingkungan.
Selain persolan lingkungan, GDRI juga mencatat lemahnya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, buruh migran, perempuan dan kegagalan melakukan reformasi yang mendasar dijajaran penegak hukum yang pada akhirnya menjerumuskan pemerintahan SBY pada problem korupsi.
Kebijakan-kebijakan itu dinilai bukan saja mendorong kerusakan lingkungan di sejumlah wilayah Indonesia, tetapi juga telah meninggalkan tumpukan utang yang jumlahnya mencapai Rp 2.422,87 trilliun.
(G30)