Sulawesi Tengah (Greeners) – Gempabumi dengan kekuatan magnitudo 7,4 telah mengguncang wilayah Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9/2018) pukul 17.02 WIB. Pusat gempa yang diperkirakan berada pada 10 km pada 27 km Timur Laut Donggala ini menyebabkan terjadinya tsunami di Pantai Talise, Kota Palu.
Melalui siaran pers yang diterima oleh Greeners, Deputi Bidang Geofisika Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Muhammad Sadly mengatakan, berdasarkan hasil pemodelan tsunami Palu menunjukkan level tertinggi Siaga (0,5m-3m) dan estimasi waktu tiba jam 17.22 WIB sehingga BMKG mengeluarkan potensi tsunami. Estimasi ketinggian tsunami di Mamuju menunjukkan level Waspada yaitu estimasi ketinggian tsunami kurang dari 0,5m. Setelah dilakukan pengecekan terhadap hasil observasi tide gauge di Mamuju, tercatat ada perubahan kenaikan muka air laut setinggi 6 cm pukul 17.27 WIB.
Diperkirakan gempabumi yang terjadi di Palu merupakan jenis gempabumi dangkal akibat aktivitas sesar Palu Koro yang dibangkitkan oleh deformasi dengan mekanisme pergerakan dari struktur sesar mendatar mengiri (Slike-Slip Sinistral). Pergerakan ini membangkitkan tsunami di beberapa wilayah Pantai Donggala dan Pantai Talise Palu.
“Jarak antara Palu dan Mamuju adalah 237 km. Berdasarkan hasil update mekanisme sumber gempa yang bertipe mendatar (strike slip) dan hasil observasi ketinggian gelombang tsunami serta telah terlewatinya perkiraan waktu kedatangan tsunami, maka peringatan dini tsunami (PDT) ini diakhiri pada pukul 17.36.12 WIB,” kata Sadly. Ia menambahkan bahwa dari pantauan BMKG hingga pukul 02.55 WIB telah terjadi 76 gempabumi susulan yang tercatat dengan magnitudo terbesar M6,3 dan terkecil M2,9.
BACA JUGA: Pasca Gempa Lombok, Masyarakat Perlu Mitigasi Jangka Panjang
Berdasarkan analisis sementara dari para ahli tsunami (ITB, LIPI, BPPT), penyebab tsunami di wilayah Teluk Palu disebabkan adanya longsoran sedimen dasar laut di kedalaman 200-300 meter. Sedimen dari sungai-sungai yang bermuara di Teluk Palu belum terkonsolidasi kuat sehingga runtuh atau longsor saat gempa dan memicu tsunami, mengindikasikan naik turunnya gelombang dan air keruh. Sedangkan tsunami di bagian luar dari Teluk Palu disebabkan oleh gempa lokal yang airnya lebih jernih.
Sementara itu, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan data sementara per tanggal 29 September 2018 ada 261 orang meninggal dunia, 356 orang luka, dan ribuan rumah rusak. Sutopo menegaskan bahwa hingga saat ini penanganan darurat terus dilakukan. Petugas BPBD, TNI, Polri, Basarnas, SKPD, dan relawan melakukan evakuasi dan pertolongan pada korban. Korban luka-luka ditangani oleh petugas kesehatan.
“Berbagai bangunan mulai dari rumah, pusat perbelanjaan, hotel, rumah sakit, dan bangunan lainnya ambruk sebagian atau seluruhnya. Diperkirakan puluhan hingga ratusan orang belum dievakuasi dari reruntuhan bangunan. Diperkirakan jumlah korban jiwa dan kerusakan bangunan akan terus bertambah,” jelas Sutopo pada konferensi pers di kantor BNPB, Jakarta, Sabtu (29/09/2018).
BACA JUGA: Para Ahli: Aktivitas Flores Back Arc Thrust Penyebab Gempa Lombok
Penanganan bencana juga terkendala kondisi listrik yang padam sehingga menyebabkan jaringan komunikasi di Donggala dan sekitarnya tidak dapat beroperasi. Terdapat 276 base transmission station (BTS) yang tidak dapat dapat digunakan.
“Operator komunikasi terus berusaha memulihkan pasokan listrik secara darurat. Kemkominfo telah melakukan langkah-langkah penanganan untuk memulihkan komunikasi yang putus tersebut,” ujar Sutopo.
Sutopo mengatakan saat ini kebutuhan mendesak yang diperlukan oleh korban gempabumi di Palu dan Donggala adalah perbaikan listrik, perbaikan jalur komunikasi, makanan siap saji, makanan bayi dan anak, tenda, terpal, selimut, veltbed, rumah sakit lapangan, tenaga medis, bantuan obat-obatan, dan air bersih.
Penulis: Dewi Purningsih